Jakarta –
Panitia Kerja (Panja) Komisi I Lembaga Legis Latif RI bersama Pemerintah Menyoroti Revisi Undang-Undang (RUU) TNI Hingga Hotel Fairmont, Jakarta Ke Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).
Dan kini Di ramai Hingga media sosial mengenai beredarnya video beberapa orang yang mengatasnamakan diri Di Kerja Sama Politik Reformasi Sektor Perlindungan memasuki Diskusi RUU TNI tersebut. Mereka meminta agar Diskusi tersebut dihentikan.
“Kami Di Kerja Sama Politik Reformasi Sektor Perlindungan pemerhati Hingga bidang Lini Pertahanan, hentikan, Lantaran tidak sesuai ini diadakan tertutup,” ujar salah satu peserta Aksi Ketidak Setujuan Hingga Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025), dikutip Di detikNews.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan Hingga Di, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI,” sebutnya.
Menyusul, media sosial pun ramai membicarakan Diskusi tersebut hingga Lalu muncul pembahasan soal dwifungsi ABRI.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Prototipe dwifungsi ABRI Ke mulanya dilontarkan Dari AH Nasution Di peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) Ke 12 November 1958 Hingga Magelang.
Istilah dwifungsi itu Lalu diperkenalkan Ke Diskusi pimpinan Polri Hingga Porong Ke 1960, seperti disebutkan Di Literatur Sistem Politik Indonesia Era Reformasi Dari Prof DR Budi Winarno, MA.
Dwifungsi adalah istilah yang digunakan Sebagai menyebut dua peran yang dikerjakan Dari militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi pembinaan Area atau Kelompok.
Menurut Nasution, TNI bukan sekadar alat sipil sebagaimana Hingga Bangsa-Bangsa Barat dan bukan juga rezim militer yang memegang kekuasaan Bangsa. Dwifungsi dinilai sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu Bersama kekuatan rakyat lainnya.
Sambil, dikutip Di Literatur Belajar Kewarganegaraan Sebagai Kelas XII SMA Dari Aim Abdulkarim, Prototipe yang diperkenalkan Dari AH Nasution ini disebut sebagai Prototipe “jalan Di”.
Penerapan Prototipe tersebut Di penafsiran militer dan penguasa Orde Terbaru, Menyambut landasan yuridis konstitusional Di pasal 2 ayat 1 UUD 1945.
Maka Hingga bidang politik militer, TNI/Polri Menyambut jatah Hingga lembaga-lembaga politik Lembaga Legis Latif dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Melewati penunjukan dan pengangkatan. Supaya, militer otomatis Menyambut jatah keanggotaan Hingga lembaga-lembaga tersebut tanpa Melewati pemilihan umum.
Kemakmuran tersebut Menunjukkan paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim Di Bangsa Kedaulatan Rakyat.
Tentangan Kelompok Ke Era Orde Terbaru
Ke era Orde Terbaru, pelaksanaan dwifungsi ABRI Memperoleh banyak tentangan mulai Di tokoh Kelompok, intelektual, mahasiswa, Malahan Di kalangan militer sendiri.
Ke 1977 muncul Penilaian Di Seskoad Hingga Bandung yang merupakan lembaga Belajar tertinggi Hingga Angkatan Darat. Para perwira Seskoad menulis dokumen yang Lalu dikenal sebagai Seskoad Paper.
Dikutip Di Literatur Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 tulisan Abdoel Fattah, Seskoad Paper intinya mendesak ABRI Sebagai menahan diri Di keberpihakan Di pemilihan umum. Alattulis ini juga menyarankan pimpinan ABRI Sebagai menjadikan ABRI sebagai kekuatan yang tidak berpihak kepada kelompok mana pun Di Kelompok, tetapi tetap berdiri atas semua golongan (Jenkins 1984: x).
Alattulis ini juga meminta ABRI memegang prinsip bahwa politik ABRI adalah UUD 1945, bukan politik kelompok. Pengkritik merujuk amanat Jenderal Soedirman yang menekankan bahwa Aturantertulis Dasar Bangsa adalah asas dan politik tentara.
Sekelompok mantan perwira tinggi berpengaruh juga melakukan “pernyataan keprihatinan”. Hal itu diumumkan Ke 12 April 1978 Dari KSAD Jenderal Widodo.
Penilaian Mahasiswa atas Dwifungsi ABRI
Antara 1974-1978, banyak mahasiswa melakukan Aksi Ketidak Setujuan antipemerintah dan ABRI (Jenkins 1984: 263). Keberpihakan ABRI kepada Golkar Ke waktu itu menyebabkan tentangan mahasiswa berlanjut.
Di 1978, Hingga Jakarta dan Bandung banyak mahasiswa memasang poster dan menulis kaosnya Bersama kalimat “Kembalikan ABRI kepada Rakyat” (Salim Said 2001: 24). Mahasiswa bertindak demikian lantaran ABRI dinilai sudah jauh Di rakyat dan menjadi milik Soeharto dan Golkar, serta digunakan Sebagai membela kepentingan pribadi/golongan, bukan kepentingan rakyat.
Penilaian Di mahasiswa atas dwifungsi ABRI berlanjut hingga jelang lengsernya Soeharto dan Setelahnya itu.
Ke 20 Mei 1998, warga Universitas Gadjah Mada menuntut Soeharto mundur sebagai syarat reformasi dan menuntut “Kembalikan ABRI Ke Rakyat”, juga menolak segala tindakan Kekejaman Di perjuangan reformasi (Diro Aritonang 1999: 120).
Kongres mahasiswa Indonesia 1999 pun menetapkan visi reformasi, Antara lain reformasi Hingga arah sistem demokratis harus ditandai Bersama berakhirnya dwifungsi ABRI.
Hingga kampus-kampus terpajang poster “Dwifungsi ABRI harus berakhir”.
Menurut mahasiswa, sistem demokratis tak Berencana terwujud jika dwifungsi ABRI tidak dihapuskan (Brosur Kongres Mahasiswa Indonesia 1999).
(nah/nwk)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Sejarah Dwifungsi ABRI, Ramai Dibahas Menyusul Diskusi RUU TNI