Jakarta –
Badan Pusat Statistik (BPS) Di Agustus 2024 lalu merilis data tingkat pengangguran terbuka (TPT) Di Indonesia Di 2024.
Per Agustus 2024 tercatat 7,47 juta orang menganggur, Kendati sebenarnya ada penurunan jumlah pengangguran Untuk 2023-2024. Penurunannya sebanyak 390 ribu orang.
Lulusan D4, S1, S2, dan S3 Merasakan peningkatan kebekerjaan. Demikian juga Untuk lulusan SD dan SMP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi, berdasarkan tingkat pengangguran, lulusan SMK menyumbang tingkat pengangguran terbesar. Walaupun jumlahnya menurun Untuk tahun Di tahun, jumlahnya tetap menjadi mayoritas dibandingkan lulusan jenjang lainnya.
Di lapangan, fakta berkaitan hal tersebut juga ditemukan Dari Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), Fahmi Sutan Alatas.
“Yang Memikat Di SMK, 6% pengangguran dikontribusi Untuk alumni SMK. Kita melakukan survei Di tahun 2015 akhirnya kita menemukan bahwa memang tantangan yang dihadapi Untuk Pembelajaran vokasional ini justru dihadapi Dari lembaga-lembaga Pembelajaran swasta,” jelasnya Untuk sesi pelatihan Journalism Fellowship on CSR 2025 secara daring (14/4/2025) yang diselenggarakan Dari Gerakan Wartawan Peduli Pembelajaran (GWPP) dan didukung Dari pihaknya.
Sebagai pelaku Untuk sisi swasta, Fahmi menemukan ada banyak siswa SMK yang tidak mau keluar Untuk Daerah tempat tinggalnya Setelahnya lulus. Sambil Untuk sisi infrastruktur pihak Fahmi juga menemukan sekolah-sekolah vokasi tersebut Memiliki keterbatasan infrastruktur yang cukup tinggi.
“Kalau Untuk sisi kurikulum yang Untuk Pemerintah menurut kami sudah cukup baik ya. Justru kesulitan Untuk sekolah itu Sebagai catch up Bersama kurikulum,” ujar Fahmi.
Maka Untuk Langkah yang disajikan Dari TBIG, Fahmi menyebut dihadirkan kurikulum unggulan. Ia menerangkan, disebut sebagai kurikulum unggulan Sebab adanya added value (nilai tambahan).
“Kita Memperkenalkan tenaga ahli Di Pukulan, Sumatera Utara (Medan), Di Balikpapan, Di Surabaya, Di Bandung, dan Pekanbaru,” Fahmi merinci.
Fahmi mengatakan pihaknya mengundang 50 guru Untuk 31 sekolah yang bekerja sama Sebagai mengikuti pelatihan yang sifatnya gratis. Adapun para lulusan sekolah kerja sama juga Berencana disalurkan Di supply chain TBIG.
Salah satu penerima manfaat, Achmad Irfan mengaku sangat terbantu Setelahnya mengikuti pelatihan diselenggarakan TBIG tersebut.
“Setelahnya lulus sekolah saya langsung diterima kerja Di PT CSA yang sampai sekarang saya masih bekerja Di PT tersebut,” ujarnya kepada detikEdu, Sabtu (19/4/2025).
Irfan menyebut Langkah tersebut sangat memudahkannya Untuk belajar dan mencari pekerjaan Sebab Setelahnya lulus sekolah langsung memperoleh pekerjaan.
“Hal itu tentu saja sangat membantu saya Sebab Setelahnya lulus sekolah saya tidak bingung lagi Untuk mencari pekerjaan,” ungkap alumnus SMK Setia Darma Palembang tersebut.
Tantangan yang Dihadapi SMK
M Andika Prawira, guru Untuk SMK 11 Maret Di Bekasi yang ikut serta Untuk pelatihan tersebut menilai, jika melihat Untuk rujukan kurikulum Untuk Kementerian Pembelajaran Dasar dan Menengah, Sebagai jurusan Cara Mesin jaringan hanya ada satu bab Yang Berhubungan Bersama Bersama fiber optik dan hanya berupa ringkasan Secara Keseluruhan saja.
“Demand Untuk industri adalah tenaga siap pakai, sedangkan Untuk kurikulum hanya umumnya saja,” jelas Andika Untuk kesempatan yang sama.
“Makanya kami Untuk SMK 11 Maret melakukan penyatuan kurikulum fiber optik Untuk TBIG, kami masukkan dan kami perkuat Di Untuk kurikulum sekolah kami agar siswa setidaknya Setelahnya lulus bisa siap pakai,” kata Andika.
Rahmat, salah satu guru SMK Di Sulawesi Tenggara yang tidak mengikuti Langkah pelatihan TBIG tersebut juga Memiliki persoalan pembelajaran Di sekolahnya. Kendati kurikulum Untuk Kementerian sudah bagus, menurutnya sekolah tempatnya mengajar membutuhkan sarana dan prasarana yang menunjang permintaan industri.
“Ditambah lagi industri Di Daerah kami yang relevan Sebagai jurusan kami (Pembuatan Alat lunak dan gim) itu masih minim. Kita harus Di kota (Kendari) Sebagai dapatkan industri yang sesuai Bersama jurusan kami,” ungkap Rahmat.
“Hanya memang kadang ada materi-materi Untuk kurikulum yang kadang ada dan tidak ada Sebagai industri tersebut, Agar kami guru mencari referensi materi Untuk luar,” imbuhnya.
Seorang guru SMK Di Malang yang tak ingin disebutkan identitasnya Berusaha Mengatasi tantangan senada Bersama Andika. Untuk Kontek Sini ia pun tidak berkaitan Bersama Langkah TBIG. Ia mengaku Di sekolahnya masih membutuhkan banyak sinkronisasi Antara kurikulum Untuk Kementerian Bersama kebutuhan industri.
“Biasanya Di awal semester ganjil kami undang Untuk industri Sebagai melakukan sinkronisasi, Dari Sebab Itu yang dibutuhkan Di industri apa, kami menyesuaikan,” ucapnya.
Tetapi, berbeda Bersama beberapa guru Di atas, Nani, guru SMK Di Sulawesi Tenggara menilai kurikulum Untuk Kementerian sudah sesuai Bersama kebutuhan industri. Terlebih Bersama penerapan Kurikulum Merdeka, pembelajaran Dari Sebab Itu lebih menitikberatkan Di Kekuatan Lewat peningkatan pembelajaran berbasis proyek.
Ia sendiri pernah mengajar Di jurusan NKN (nautika kapal niaga) Di mata pelajaran pelayaran astronomi dan mata pelajaran meteorologi.
“Sebagai jurusan NKN sendiri, setiap tahun ada banyak industri yang Merasakan lulusan kami. Tetapi banyak juga industri yang menerapkan persyaratan lebih daripada sekedar ijazah, misalnya harus ada sertifikat lain yang tidak dapat dikeluarkan sekolah, tetapi harus didapatkan Lewat lembaga pelatihan bersertifikasi Untuk dinas perhubungan laut seperti BST (basic safety training) dan juga Memiliki izin berlayar yaitu Bacaan Pelaut yang hanya dikeluarkan Dari pihak syahbandar,” papar Nani.
Apa Kata Kementerian?
Pelaksana Tugas Direktur SMK Kemendikdasmen, Dr Arie Wibowo Khurniawan menyampaikan kurikulum SMK sudah fleksibel. Sebab Di Kurikulum Merdeka titik tumpunya bukan Di dokumen kurikulum, melainkan kemampuan guru menerjemahkan standar kurikulum itu Bersama kontekstual keadaan Di lapangan.
“Ada beberapa sekolah yang gurunya mampu dan Standar baik, mereka tidak pernah berbicara tentang Standar hal ini. Memang sekarang ini Di kami Berusaha Mengatasi Di mana guru-guru kejuruan khususnya yang menangani Langkah-Langkah keahlian kejuruan ini, belum pernah dilatih sepanjang hidup dan sepanjang hayatnya. Itu ada 80% Untuk total seluruh guru kita,” terang Arie kepada detikEdu, Sabtu (19/4/2025).
Arie menyebut ada dua alasan kenapa guru-guru SMK yang dimaksud belum pernah mengikuti pelatihan. Pertama Sebab tidak pernah ditugasi Dari kepala sekolahnya Sebagai berlatih Di balai-balai vokasi milik Kemendikdasmen. Kedua, tidak ada Biaya Sebagai mengirimkan guru Sebagai berlatih.
Arie berkaca Di era Pemimpin Negara Soeharto, guru kejuruan diwajibkan berlatih Di balai-balai Pembuatan vokasi milik pemerintah Sebagai Memperbaiki pengetahuannya.
“Pada ini ada banyak guru-guru Mutakhir hanya mengandalkan ijazah S1,” kata Arie.
“Tapi kalau sekolahnya itu baik, sekolahnya itu Berencana mengirimkan secara mandiri guru-guru tersebut Di industri Sebagai belajar, diberikan waktu Sebagai belajar, meng-upgrade dirinya, Agar guru itu bisa menerjemahkan standar-standar kurikulum sesuai Bersama kebutuhan industri,” imbuh Arie.
“Makanya Pak Pembantu Presiden Tim Menteri menerbitkan surat edaran wajib meluangkan waktu satu hari Sebagai belajar,” ujar Arie.
Arie menyebut memang menjadi tantangan Untuk pihaknya bagaimana agar guru-guru ter-update.
“Itu Lagi saya usahakan gimana caranya, apakah Merangsang balai-balai ini menjadi badan layanan umum Agar dana-dana BOS itu bisa digunakan Sebagai berlatih Di sini dan seterusnya,” jelasnya.
“Pak Pembantu Presiden Tim Menteri sudah melihat dan dia tahu memang guru-guru SMK vokasi yang produktif yang misalnya menangani keteknikan itu banyak yg belum ter-upgrade. Itu Lagi kita usahakan bisa nyari dana Sebagai mereka bisa ter-updgrade minimal setahun sekali,” ungkapnya.
Jika merujuk kembali Di Pengalaman Hidup Andika, guru Di Bekasi yang pihaknya bekerja sama Bersama Langkah CSR TBIG, sebenarnya apa hakikat Untuk CSR itu sendiri?
Hakikat CSR Di Indonesia
CSR atau corporate social responsibility (CSR) seperti dijelaskan Dari Aniek Murniati, Ssos, MSAk Untuk bukunya yang bertajuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu Konsep Di mana perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan Dari kegiatan bisnisnya, seperti masalah limbah; polusi; dan masalah Keselamatan.
Bentuk tanggung jawab yang wajib dicantumkan Untuk CSR adalah satu atau beberapa kegiatan atau Karya yang dilakukan manajemen perusahaan sebagai wujud rasa tanggung jawabnya sebagai perusahaan kepada Komunitas sosial dan lingkungan Disekitar Di mana suatu perusahaan menjalankan seluruh Karya operasionalnya.
Sifat Untuk tanggung jawab tersebut adalah tidak dapat dihindari atau wajib.
Sambil, pakar public relations dan manajemen Topik dan krisis komunikasi Universitas Brawijaya (UB) Maulina Pia Wulandari, PhD menerangkan, secara definisi teoritis CSR adalah komitmen sukarela perusahaan Sebagai berkontribusi Di Pembangunan Berkelanjutan, termasuk Kesejajaran Komunitas dan perlindungan lingkungan.
Kendati begitu, perempuan yang disapa sebagai Pia ini menerangkan CSR juga bukan semata-mata kebaikan hati atau amal sosial. CSR merupakan Dibagian Untuk strategi Usaha yang beretika dan bertanggung jawab secara sosial.
“CSR lebih tepat disebut sebagai kewajiban moral dan sosial, Sebab perusahaan tidak hidup Di ruang hampa. Mereka Memutuskan sumber daya Untuk Komunitas dan lingkungan, maka punya tanggung jawab Sebagai memberi kembali,” jelas Pia kepada detiKEdu Di Sabtu (19/4/2025).
Pia mengutip Porter & Kramer (2011) yang menyebut, “CSR is not philanthropy. It is a core business strategy.”
Pia mengatakan CSR merupakan sekaligus strategi jangka panjang Sebagai membangun reputasi, kepercayaan publik, dan Ketahanan usaha.
“CSR berbeda Bersama charity atau donasi. Kalau donasi bisa bersifat spontan dan tidak berkelanjutan. CSR menuntut Pendesainan, Ketahanan, dan dampak sosial yang nyata,” jelas Pia.
“Untuk konteks Indonesia, merupakan kegiatan wajib atau mandatory Untuk perusahaan yang beroperasi Di Indonesia khususnya Sebagai perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT) dan menjalankan kegiatan usahanya Di bidang sumber daya alam atau yang berdampak Di lingkungan hidup,” imbuhnya.
Pia menyebutkan beberapa landasan hukum utama CSR Di Indonesia. Di antaranya ada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 sendiri mengatur tentang tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), yang merupakan bentuk CSR Di Indonesia.
Setelahnya Itu ada Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan turunan Untuk Undang-Undang PT dan memperjelas implementasi CSR.
Juga Undang-Undang Yang Berhubungan Bersama lainnya Di antaranya Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pia mengingatkan, CSR tidak boleh berhenti Di kegiatan simbolik. Maka CSR harus mendukung Ketahanan komunitas yang dibantu.
Lulusan doktoral The University of Newcastle ini memaparkan Langkah CSR semestinya Menyediakan kapasitas kepada komunitas Sebagai mandiri; Merangsang Perkembangan jangka panjang, bukan ketergantungan; serta memastikan continuity dan dampak jangka panjang, bukan hanya pencitraan sesaat.
Ia melanjutkan Di dasarnya Ketahanan CSR mencakup 3 aspek yakni profit, people, dan planet (Triple Bottom Line). Agar perusahaan perlu mendukung ekonomi lokal, menjaga Kesejajaran ekologi, dan Memperbaiki kapasitas sosial Komunitas.
“Agar CSR bukan hanya Langkah yang sifatnya Menyediakan sesuatu tanpa memikirkan Ketahanan Untuk sisi ekonomi Komunitas, kesimbangan lingkungan, dan peningkatan SDM dan kemampuan sosial Komunitas,” kata Pia.
Bisakah CSR Dari Sebab Itu Solusi Untuk Pembelajaran?
Menurut Pia, Langkah CSR dapat menjadi solusi Untuk permasalahan Di sektor Pembelajaran maupun hanya sekadar membantu/menunjang, tergantung pendekatan dan skala.
Pia memaparkan CSR dapat menjadi solusi apabila dirancang secara strategis dan kolaboratif. Bersama itu, maka CSR dapat menjadi solusi struktural Untuk sektor Pembelajaran. Misalnya Lewat beasiswa jangka panjang, Pembuatan kurikulum berbasis kebutuhan industri, pelatihan guru dan fasilitas sekolah Di Daerah 3T, serta penyediaan Ilmu Pengetahuan Pembelajaran.
Sambil, CSR hanya sebagai penunjang apabila sifatnya hanya sporadis seperti membagikan alat tulis atau mengecat sekolah misalnya. Artinya dampaknya terbatas sebagai bentuk Dukungan Sambil.
“Menurut para ahli, CSR Di bidang Pembelajaran menjadi penting Sebab Penanaman Modal Untuk Negeri Pembelajaran adalah Penanaman Modal Untuk Negeri sosial jangka panjang yang memperkuat fondasi bangsa. Maka peran CSR bisa menjadi mitra strategis pemerintah dan lembaga Pembelajaran,” terang Pia.
Untuk suatu komunitas atau lembaga yang Menyambut tawaran CSR, Pia Menyediakan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurutnya, komunitas atau lembaga tersebut perlu proaktif dan cermat.
Pertama, hal yang menurutnya perlu diperhatikan adalah kesesuaian kebutuhan. Pihak yang Merasakan penawaran perlu memastikan suatu Langkah CSR benar-benar sesuai Bersama kebutuhan nyata komunitas, bukan hanya Langkah titipan perusahaan.
“Dari Sebab Itu Langkah CSR itu harus datang Untuk suara Komunitas agar sesuai Bersama apa yang dibutuhkan Dari Komunitas. Langkah yang diberikan tepat sasaran dan tepat guna,” terangnya.
Setelahnya Itu, Pia mengingatkan soal Ketahanan Langkah. Komunitas atau komunitas perlu menanyakan apakah Langkah tersebut berlangsung terus, apakah ada pelatihan atau Pindah knowledge, dan apakah ada Wacana jangka panjang.
“Langkah CSR sebaiknya merupakan Langkah yang berkelanjutan, bukan hanya sekali bikin lalu tidak jelas kelanjutannya apa,” tegasnya.
Berikutnya, ia mengingatkan perlunya transparansi dan komunikasi. Maka harus jelas apa yang Berencana diberikan Untuk Langkah CSR tersebut, siapa penanggung jawabnya, siapa yang terlibat, dan bagaimana evaluasinya.
Keempat, hak dan kewajiban kedua pihak. Pia menuturkan, komunitas juga perlu tahu apakah ada tanggung jawab yang menyertai suatu Langkah CSR, misalnya pelaporan; partisipasi aktif; atau penyediaan SDM lokal.
Terakhir, Pia mewanti-wanti agar komunitas tak semata-mata tergiur dana.
“Nilai kebermanfaatan jangka panjang lebih penting daripada insentif sesaat,” pungkasnya.
(nah/nwk)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: SMK Hadapi Tantangan Pembelajaran-Permintaan Industri, Bisakah CSR Dari Sebab Itu Solusi?