Menguji Otonomi Belajar Tinggi



Jakarta

Transformasi perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum (PTN-BH) merupakan salah satu langkah paling ambisius Di sejarah Belajar tinggi Indonesia. Didalam status ini, universitas diberi keleluasaan besar Sebagai mengatur dirinya, mulai Di aspek akademik, keuangan, hingga kemitraan. Harapannya, universitas lebih lincah merespons perkembangan Internasional, mampu Berkreasi, dan tidak terus bergantung Ke Biaya Negeri.

Sejumlah capaian memang sudah terlihat. Beberapa PTN-BH berhasil memperbaiki Pangkat internasional, memperbanyak publikasi bereputasi, dan membangun jejaring Kajian Internasional. Tak sedikit pula Pembaharuan Keahlian lahir Di laboratorium PTN-BH, Justru ada yang berkembang menjadi Mula berbasis Kajian. Di sisi tata kelola, organ seperti Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik membuat proses pengambilan keputusan lebih sistematis.

Akan Tetapi, Hingga balik Sukses tersebut, muncul sederet persoalan yang tak bisa dikesampingkan. Hingga sinilah dilema PTN-BH. Ia adalah laboratorium tata kelola modern sekaligus cermin ketidaksiapan sistem Belajar tinggi kita Berjuang Didalam tantangan keadilan sosial.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilema PTN-BH

Keluhan utama Kelompok Yang Terkait Didalam PTN-BH menyangkut biaya kuliah yang cenderung lebih tinggi. Universitas memang menyediakan beasiswa, Akan Tetapi sering kali tidak sebanding Didalam jumlah mahasiswa miskin yang membutuhkan. Sebab, status PTN-BH terkesan melahirkan kampus elite, yang secara perlahan menjauh Di semangat konstitusional Sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa.

Situasi ini pernah diingatkan filsuf Belajar, John Dewey (1916), “Education is not a preparation for life, education is life itself.” Belajar bukan Produk Internasional yang hanya bisa diakses kelompok berpunya, melainkan Pada tak terpisahkan Di kehidupan manusia. Jika akses Belajar terhambat Dari urusan biaya, maka status PTN-BH Akansegera kehilangan legitimasi moralnya.

PTN-BH juga Berjuang Didalam dilema Ditengah menjaga idealisme tridharma perguruan tinggi dan tekanan Sebagai mencari pemasukan. Orientasi pasar terkadang lebih dominan, misalnya Didalam membuka Langkah studi populer berbiaya tinggi, Sambil Itu Langkah strategis seperti filsafat, sastra Lokasi, atau ilmu-ilmu dasar kurang Memperoleh perhatian.

Kejadian Luar Biasa ini Menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan sering tereduksi menjadi ruang komersialisasi. Padahal, otonomi sejatinya diarahkan Sebagai memperluas Imajinasi akademik, memperkuat Kajian, dan Merangsang pengabdian Kelompok. Jika dibiarkan, kampus bisa terjebak Di logika korporasi yang mengedepankan laba, bukan lagi misi keilmuan dan kemanusiaan.

Hingga lapangan, meski telah diberi label mandiri, sebagian besar PTN-BH masih bergantung Ke APBN. Dana Kajian, Dukungan Pemerintah gaji dosen, hingga biaya operasional inti tetap datang Di Negeri. Upaya mencari dana non-APBN memang ada, seperti Pembaruan unit usaha, kerja sama industri, dan donasi alumni, tetapi kontribusinya masih kecil.

Perbandingan Didalam Negeri lain memperlihatkan kelemahan ini. Hingga Amerika Serikat, universitas publik memang otonom, tapi sudah lama mengandalkan kombinasi dana Negeri Pada, tuition fee, Kajian Tantangan, dan endowment (dana abadi-red) alumni. Hingga Inggris, universitas berstatus badan hukum hampir sepenuhnya mandiri, meski konsekuensinya tuition fee tinggi. Sambil Itu Hingga Jerman dan Singapura, pemerintah tetap hadir secara kuat. Belajar tinggi dipandang sebagai public good yang tidak boleh diserahkan semata Ke mekanisme pasar.

Posisi Pemerintah

Memahami pelbagai persoalan yang dihadapi, pemerintah harus Memutuskan langkah korektif. Instrumen evaluasi disusun secara komprehensif, Indikator Kinerja Utama (IKU) diperketat, Dukungan Pemerintah afirmatif Melewati KIP Kuliah diperluas, dan mekanisme audit diperkuat. Alumni juga didorong ikut membangun endowment fund, Sambil Itu kemitraan Didalam BUMN dan industri diperbanyak.

Strategi ini Menunjukkan pilihan moderat, yakni Negeri tetap menjaga kendali, Akan Tetapi tidak mematikan ruang Pembaharuan. Meski demikian, jurang Ditengah PTN-BH dan PTN biasa masih menganga. Universitas Hingga Jawa lebih mudah menjalin mitra industri, Sambil Itu kampus Hingga luar Jawa tertinggal. Upaya pemerataan Mutu harus menjadi prioritas agar PTN-BH tidak sekadar memperbesar kesenjangan.

PTN-BH adalah eksperimen besar yang belum tuntas. Masa Di PTN-BH sangat bergantung Ke bagaimana pemerintah, universitas, dan Kelompok menjaga Kesejaganan Ditengah otonomi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.

Otonomi universitas memang mutlak diperlukan Sebagai daya saing Internasional. Tetapi, tanpa akses yang adil, PTN-BH Akansegera kehilangan makna konstitusionalnya. Belajar tinggi adalah hak warga Negeri, bukan hak istimewa kelompok tertentu.

Maka, tantangan kita hari ini adalah memastikan PTN-BH tidak sekadar menjadi menara gading yang gemerlap Hingga panggung Internasional, tetapi juga ladang subur Bagi lahirnya generasi bangsa yang cerdas, kritis, dan berkeadilan. Hingga situlah PTN-BH menemukan makna sejatinya. Bukan hanya otonom, tetapi juga inklusif dan humanis.

*) Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Anggota Dewan Belajar Tinggi Kemdiktisaintek RI

*) Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(nwk/nwk)

Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Menguji Otonomi Belajar Tinggi