Jakarta –
Permasalahan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Kepala Negara Hingga-2 RI, Soeharto, mencuat usai usulan Di Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) bersama Regu Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pakar, serta budayawan.
Usulan ini menuai Perdebatan lantaran sejumlah Keputusan dan peristiwa Di era kepemimpinan Soeharto yang menjadi peristiwa kelam sejarah. Merespons pro-kontra Di Komunitas, Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Suwignyo, Memberi tanggapannya.
Soeharto Memenuhi Kriteria Sebagai Pahlawan Nasional
Agus mengatakan, jika Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan Sebagai dijadikan sebagai pahlawan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut,” ujar Agus Di laman UGM Kamis (17/4/2025).
Berdasarkan Peraturan Pejabat Tingginegara Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, seseorang yang diajukan Sebagai Menyambut gelar tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan umum dan khusus. Beberapa Di antaranya adalah berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa.
Menurut Agus, Soeharto Memiliki peran besar ketika memperjuangkan kemerdekaan. Jika melihat Di karier militernya, Soeharto pernah bergabung Di Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta Di cengkraman kolonial.
Setelahnya Itu Di tahun 1962, Soeharto naik menjadi Panglima Komando Mandala Di operasi pembebasan Irian Barat. Peran penting Soeharto Di berbagai pergerakan militer membuktikan pengaruh kuat Di kemerdekaan.
Fakta dan Perdebatan Pada Menjadi Kepala Negara
Kendati demikian, nama Soeharto lekat Didalam fakta dan kontroversinya Pada menjabat.
“Tetapi tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya (Soeharto) Di tahun 1965,” jelasnya.
“Cara pandang sejarah Di Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya Di kemerdekaan,” papar Agus.
Agus mengakui jika tidak ada masalah Di sisi kontribusi Di kemerdekaan. Tetapi penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional Akansegera memunculkan sudut pandang kritis, bagaimana seseorang yang pernah menjadi pemimpin Di kejahatan Hakasasi Manusia dan represi kebebasan pers diberi gelar pahlawan.
Sarankan Kategorisasi Khusus Bagi Soeharto
Maka Itu, Agus menyarankan perlu adanya pengkhususan dan kategorisasi jika tetap Memberi gelar pahlawan nasional Di Soeharto.
“Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Dari Sebab Itu semisal ada kategori pahlawan nasional Di bidang tertentu, Supaya bisa diberikan gelar Tetapi Di konteks dan catatan,” jelasnya.
Menurut Agus, bukan tidak Mungkin Saja seorang tokoh pergerakan juga Memiliki catatan kelam semasa hidupnya. Jika penetapan gelar diberikan konteks Di bidang atau periode tertentu, pengakuan Di kontribusi dapat dilakukan tanpa mengabaikan fakta sejarah lainnya.
Agus juga menegaskan jika Peristiwa Pidana Hukum seperti ini tidak hanya terjadi Di Soeharto. Ia menyebut Syafruddin Prawiranegara contohnya, salah satu tokoh yang Dikatakan ekstrem ketika menentang sentralisasi kekuasaan Di awal kemerdekaan. Perannya Di Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Faktanya, menurut Agus, Syafruddin merupakan tokoh penting ketika pemerintah darurat dibentuk.
“Di Itu, kita belum (Memberi pengakuan) Di berbagai tokoh-tokoh Di bidang Karyaseni, Ilmu Pengetahuan, dan pengetahuan. Saya kira perlu ada kajian mengenai pahlawan nasional Di luar latar Di militer,” pungkas Agus.
(nir/nwy)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Jangan Abaikan Sejarah & Perdebatan