Jakarta –
Kecerdasan buatan atau Kecerdasan Buatan (AI) memang dapat dimanfaatkan secara luas, tak terkecuali Dari awak media.
Dewan Pers sendiri telah Menerbitkan Peraturan Nomor: 1/Peraturan-DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan Di Karya Jurnalistik yang diteken Di 22 Januari 2025.
Jurnalis senior Jamalul Insan menilai tidak Bisa Jadi Bagi menghalangi awak media Di menggunakan AI misalnya Di menghasilkan karya audio visual jurnalistik, tetapi penggunaannya harus ada pengawasan Ke newsroom. Jamal menegaskan, Di memanfaatkan AI, maka jurnalis perlu benar-benar melakukan cek dan tidak serampangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Karena Itu boleh saja, tapi harus ketat. Harus dicek betul Sebab ini Yang Terkait Didalam Didalam hak cipta juga,” tegas Jamal Di salah satu sesi Inisiatif Journalism Fellowship on CSR 2025 yang diselenggarakan Dari Gerakan Wartawan Peduli Pembelajaran (GWPP) Didalam didukung Dari Tower Bersama Group, Rabu (16/4/2025).
Jurnalis asal Betawi yang telah berkiprah Ke dunia pertelevisian Dari 1995 itu menyebut AI memang sangat membantu. Kendati begitu, jika wartawan tak cermat, maka Akansegera terperosok juga. Samping Itu, ia menyebut tak ada persentase khusus kadar penggunaan AI Di konten jurnalistik.
“Karena Itu boleh, boleh saja. Berapa prosentasenya memang nggak ada sih. Nggak ada ukuran prosentase, tapi tetap harus ketat,” jelasnya.
“Jangan Sebab sekadar ada, terus diambil aja. Ternyata itu berita orang lain,” ucap mantan Ketua Komisi Pembelajaran, Pelatihan, dan Pembaruan Profesi Dewan Pers 2019-2022 itu.
Di kesempatan yang berbeda, peneliti media Abie Besman menilai AI Di jurnalisme idealnya diposisikan sebagai co-actor, bukan sebagai penulis utama. Abie menegaskan AI boleh digunakan sejauh masih ada campur tangan manusia Di proses editorial, proses yang melibatkan etika, konteks, dan pertanggungjawaban.
“Berdasarkan pendekatan Actor-Network Theory (ANT), AI bukan sekadar alat, tapi Aktor Atau Aktris non-manusia yang ikut membentuk ekosistem kerja jurnalistik, Di produksi, kurasi, hingga distribusi konten,” jelas Abie kepada detikEdu, Rabu (16/4/2025).
Ia menekankan, maka batas penggunaan AI bukan terletak Di boleh atau tidak, tetapi Di fungsi dan transparansi.
Fulbright Scholar Di Texas Tech University ini menjelaskan tiga rambu-rambu pemanfaatan AI Di media, yaitu:
1. Transparansi Redaksional
“Publik harus tahu jika AI digunakan, terutama Di konten yang bersifat visual, suara, atau Malahan naskah berita. Kejujuran Di proses produksi jurnalisme Akansegera tetap menjaga kepercayaan publik,” terangnya.
2. Proses yang Bertanggung Jawab
Abie menekankan agar jurnalis tidak menyerahkan seluruh proses editorial Ke AI.
“Di ANT, ini disebut sebagai delegation Ke mana proses Pada fungsi jurnalis mulai didelegasikan Ke mesin. Harus ada mekanisme kontrol dan review Dari manusia agar framing berita tetap mencerminkan nilai-nilai etis jurnalistik,” jelasnya.
3. Adanya Audit dan Akuntabilitas Metode
Abie menyebut AI Di newsroom semestinya dapat diaudit. Masalah utama Di black-boxing (ANT) adalah Pada AI membuat keputusan tanpa dapat ditelusuri logikanya, Malahan Dari redaksi sendiri.
“Ini berbahaya Sebab bisa menimbulkan bias, ketidakadilan representasi, hingga penyebaran disinformasi Sebab sumber yang tidak bisa ditelusuri,” Abie mewanti-wanti.
Di Inisiatif Fellowship on CSR 2025 ini, Jamal juga sempat menyebut yang ia istilahkan sebagai era ‘belantara jurnalis dan media Ke Indonesia’.
“Kawan-kawan yang hari ini menggeluti pekerjaan jurnalistik sebagai jurnalis, sebagai wartawan, kita Pada ini berada Di belantara yang sangat dahsyat, sangat besar,” sebut Jamal.
“Kenapa begitu? Selain memang perkembangan Setelahnya era Reformasi ’98 itu kan regulasinya sudah berubah. Sudah nggak perlu lagi ada SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), Supaya hari ini semua orang punya kesempatan Bagi bikin media dan mengaku jurnalis. Mengaku ya. Kenapa? Sebab memang mudah,” imbuhnya.
Akan Tetapi, Jamal juga menekankan Dewan Pers dan Pemerintah tak dapat membekukan, kecuali ada Kartu Peringatan-Kartu Peringatan yang secara teknis.
“Memang regulasinya memungkinkan semua orang Bagi bisa punya media. Sebab nggak perlu SIUPP lagi, Surat Izin Penerbitan,” jelas laki-laki yang mengawali karier sebagai reporter RCTI itu.
Di Pada Yang Sama, Abie menilai secara ideal jumlah media dan jurnalis yang banyak mencerminkan keberagaman suara.
“Tapi Di praktik, kuantitas bukan jaminan Mutu. Di konteks AI dan media digital, kita bisa Memiliki ratusan kanal berita yang justru homogen Sebab semua diarahkan Dari Metode yang sama,” jelasnya.
Ia menerangkan, yang lebih penting adalah keberagaman sistemik. Maksudnya adalah kepemilikan yang tidak terkonsentrasi, redaksi yang independen, dan media yang tidak semuanya tunduk Di logika Metode.
“Banyaknya media itu ideal, Pada tidak semua dikendalikan Dari kekuatan pasar atau kekuasaan politik yang seragam,” ujarnya.
Didalam banyaknya media Pada ini, menurut Abie yang banyak hilang hari ini adalah kemampuan memilah dan memilih, baik Di sisi redaksi maupun konsumen informasi.
Abie memaparkan, Metode membuat informasi yang sampai sekadar apa yang viral. Jurnalisme yang terlalu bergantung Di Metode berisiko terjebak Di “engagement-driven journalism”, Ke mana berita dipilih bukan Sebab nilainya, tetapi Sebab potensinya Bagi diklik.
“Perbaikannya adalah menempatkan kembali manusia sebagai pusat keputusan. Ilmu Pengetahuan memang penting, tapi ia harus tunduk Di logika jurnalisme, bukan Sebagai Alternatif,” ucapnya.
(nah/nwk)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Penggunaan AI Dari Media, Pakar Jelaskan Sejauh Mana Pemanfaatannya