3 Tantangan Untuk Tingkatkan Mutu Literasi-Numerasi RI, Apa Saja?


Jakarta

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia Untuk UNESCO ungkap tiga tantangan Di tingkatkan Mutu numerasi dan literasi Ke Indonesia. Salah satunya adalah kurikulum.

Baginya literasi dan membaca adalah dua hal yang berbeda. Literasi merupakan pemahaman Di apa yang dibaca seseorang dan Lalu digunakan sebagai alat Untuk hidup.

“UNESCO mengatakan bahwa literasi adalah alat Untuk Mengurangi Jurang Kaya Miskin. Alat Untuk mencapai sustainable development goals (dan) Mengurangi dampak climate change,” ungkapnya Ke Kegiatan Lokakarya Hasil Studi Kajian Persepsi Penggunaan Inisiatif Pembelajaran Digital Sebagai Alat Bantu Pembelajaran Dari Enuma Ke Artotel Gelora Senayan, Jakarta, Kamis (14/11/2024).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab orang yang literat (Memperoleh literasi yang baik) berpengetahuan cukup, termotivasi Untuk membaca, dan mempraktekkan apa yang dipahami Di kehidupannya. Supaya mereka terus Berusaha menghidupi dirinya menggunakan kemampuan literasi diimbangi numerasinya.

“Karena Itu kalau definisi UNESCO, literasi is a way of life. Literasi adalah hak manusia. Dari sebab itu sebuah Negeri harus menggerakkan (Di) Memperbaiki literasi dan numerasi,” tambahnya.

3 Tantangan Untuk Tingkatkan Mutu Literasi-Numerasi RI

Adapun tantangan yang dihadapi Indonesia Di Memperbaiki Mutu literasi dan numerasi menurut Itje yakni:

1. Kurikulum

Tantangan pertama yang dihadapi Indonesia berkaitan Bersama kurikulum. Itje menemukan rapor anak-anak Indonesia umumnya sudah bagus, tetapi literasinya tidak.

Setelahnya ditelusuri Kegagalan ditemukan Ke proses penyelenggaraan pembelajaran. Kurikulum Indonesia menurutnya hingga Pada ini tidak Memperoleh pedoman tentang materi literasi.

“Kurikulum itu isinya (hanya) tujuan yang harus dicapai. Tujuannya itu jelas (contohnya) anak kelas 3 SD harus sudah bisa membaca,” jelasnya.

Tetapi ketika Ke Di kelas, kepala sekolah dan guru Memperoleh mandat Untuk memahami kurikulum yang Lalu diterjemahkan Di materi ajar. Hal ini kerap kali tidak memperhatikan kompetensi apa yang diminta Dari kurikulum.

Proses ini membuat pembelajaran dipenuhi Dari materi-materi yang harus selesai, bukan dipahami siswa. Sebab guru tidak Memperoleh kesempatan Untuk scaffolding atau guru Memberi Dukungan yang disesuaikan Bersama kemampuan kognitif siswa.

Untuk Itje, proses literasi seharusnya bukan hanya dilakukan Ke pelajaran bahasa Indonesia. Tetapi semua pelajaran Sebab semuanya menyangkut informasi yang perlu dipahami siswa.

“Proses itu Pada ini masih miss (Sebab) kita kejar-kejaran Bersama ujian. Maka dikesankan bahwa pelajar belajar itu Untuk menyelesaikan soal-soal dan Lalu hasil tesnya bagus,” ucapnya.

Sayangnya nilai-nilai yang bagus ini tidak setara Bersama kompetensinya. Itje berharap Hingga depannya tidak ada nama kurikulum, hanya pakai nama kurikulum nasional seperti Negeri lainnya.

“Supaya kita gak bingung Karena Itu perbedaan (Di kurikulum). Sebab kalau kita pikirkan sustainability Di bidang Belajar itu perlu dijaga,” kata dia lagi.

2. Kecakapan Sosial dan Emosional Guru

Tantangan kedua berkaitan Bersama cara membangun kecakapan sosial dan emosional yang harus dimiliki guru. Jadinya, ketika Ke Di kelas guru mampu mengutarakan setiap materi pembelajaran Bersama baik.

Scaffolding yang disebut Itje Sebelumnya Itu bisa dibangun lewat dialog Di guru dan anak-anak dan dialog guru bersama materi yang diajarkan. Sampai sekarang hal ini belum perkuat Ke Belajar Indonesia.

“Ini yang perlu menjadi kekuatan yang menurut saya Pada ini merupakan tantangan Indonesia,” ungkapnya.

3. Kemampuan Guru Untuk Bercerita

Penguatan literasi dan numerasi perlu dipupuk Dari dini. Sayangnya guru SD kelas bawah dinilai Itje belum diwajibkan Memperoleh kemampuan Untuk bercerita.

“Saya selalu minta Ke sekolah-sekolah Untuk tolong rekrut guru PAUD, TK, dan SD kelas 1, 2, 3 (yang mampu) bercerita,” tutur Itje.

Sebab anak-anak Ke usia perkembangan awal sangat bergantung Ke suara dan gestur yang guru pakai Untuk memahami informasi. Ketika informasi dibacakan tanpa ekspresi, anak pasti tidak mendengarkannya.

“Tetapi ketika kita bercerita Bersama perpindahan suara Di suara rendah Hingga suara yang lebih tinggi, Di wajah sedih Hingga wajah gembira, (perhatian) otaknya pasti kepada kita,” jelasnya.

Langkah ini, menurutnya, sangat mendasar dan perlu dilakukan Dari guru. Itje yakin berbagai keputusan yang dibuat pemerintah sudah dipikirkan Bersama matang-matang.

Akan Tetapi, Kelompok tetap perlu mengawal dan Memberi masukan, Sebab Untuk membuat Belajar Indonesia yang maju dibutuhkan gerakan Di semua pihak.

(det/faz)

Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: 3 Tantangan Untuk Tingkatkan Mutu Literasi-Numerasi RI, Apa Saja?