Jakarta –
Momentum pasca Idul Fitri perlu kita maknai sebagai semangat Sebagai membangkitkan jiwa, menjadi manusia Terbaru yang lebih baik Di Sebelumnya Itu. Sesudah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan amarah, kita seharusnya menemukan versi terbaik Di diri kita: lebih sabar, lebih teratur, dan lebih reflektif.
Tetapi, yang sering luput Di kesadaran adalah bahwa Ramadan sebenarnya telah memberi kita “laboratorium kedisiplinan”-tempat yang sempurna Sebagai membangun kebiasaan Terbaru yang positif. Kini, Sesudah perayaan Idul Fitri dan rutinitas kembali Di ritme semula, pertanyaannya adalah: bagaimana menjadikan semangat spiritual dan kedisiplinan Pada Ramadan sebagai batu loncatan Sebagai produktivitas berkarya?
Jawabannya terletak Di membangun kebiasaan (habits). Di bukunya yang fenomenal, ‘Atomic Habits’, James Clear menegaskan bahwa perubahan besar Di hidup tidak lahir Di revolusi instan, tetapi Di akumulasi perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten. Ramadan memberi kita kesempatan emas Sebagai membentuk kebiasaan baik-dan Idul Fitri adalah Di yang ideal Sebagai melanjutkannya Di ruang produktivitas dan karya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ramadan memaksa kita Sebagai menata ulang jam biologis dan ritme harian. Bangun dini hari Sebagai sahur, menahan diri Di konsumsi dan emosi, serta menjaga Mutu ibadah Di Ditengah kesibukan pekerjaan. Ini bukan Peristiwa Pidana mudah, tetapi jutaan umat Muslim melakukannya Bersama sukses. Di Kacamata teori kebiasaan, kita sesungguhnya telah membentuk habit loop: ada isyarat (adzan subuh), rutinitas (sahur dan sholat), dan Pengakuan (kepuasan spiritual).
Di konteks ini, inti Di pembentukan kebiasaan adalah identity-based habits-yakni menjadikan kebiasaan sebagai Dibagian Di identitas diri. Di kita mampu berkata, “Saya adalah orang yang disiplin, yang mampu menahan diri dan bangun pagi,” maka kebiasaan itu tidak lagi menjadi beban, melainkan cerminan siapa kita.
Di konteks Ramadan, kita telah menjalani satu bulan penuh Sebagai membangun kebiasaan baik. Kebiasaan bangun pagi, menyusun waktu Bersama lebih rapi, hingga menjaga pikiran Di hal-hal negatif, semuanya telah kita latih. Maka sayang sekali bila Sesudah Idul Fitri, kita justru kembali Di pola hidup tidak teratur dan kehilangan momentum produktif.
Sebagai muslim yang baik, kita perlu merenungi perintah Nabi Muhammad SAW, bahwa penting Sebagai menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari.
“Produk siapa hari ini lebih baik Di hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Produk siapa yang hari ini sama Bersama hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Produk siapa yang hari ini lebih buruk Di hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka” (HR Hakim).
Hadist ini memberi tekanan penting betapa produktivitas, semangat Sebagai menjadi lebih baik, itu selaras Bersama tujuan keislaman kita. Ramadan dan Idul Fitri telah menjadi momentum Untuk kita Sebagai membangun kedisiplinan, menjadi manusia yang lebih baik Di periode Sebelumnya Itu.
Di luar aspek spiritual dan silaturahmi, Idul Fitri adalah titik balik. Kita perlu menilik Prototipe fresh start effect, yaitu dorongan psikologis yang muncul Sesudah momen transisi besar-seperti awal tahun, ulang tahun, atau perayaan keagamaan. Efek ini membuat kita lebih terbuka Pada perubahan dan lebih termotivasi Sebagai memulai sesuatu yang Terbaru.
Artinya, Idul Fitri adalah kesempatan emas Sebagai memulai ulang. Momen ini bisa kita manfaatkan Sebagai memantapkan resolusi berkarya: menyelesaikan tugas yang tertunda, memulai proyek Terbaru, atau memperbaiki pola kerja yang Pada ini tidak optimal.
Tetapi, semangat ini tidak Akansegera bertahan lama tanpa sistem. Di sinilah membangun kebiasaan produktif menjadi penting, membangun sistem yang bisa berdampak jangka panjang. Di teorinya, Inspirasi bersifat fluktuatif, Sambil sistem bersifat permanen. Maka, daripada sekadar berharap semangat pasca-Lebaran bisa bertahan lama, kita perlu menciptakan sistem yang mendukung kebiasaan produktif.
Di era sekarang ini, definisi produktivitas pun Merasakan pergeseran. Bukan lagi sekadar soal Kecepatanakses atau jumlah output, tetapi lebih Di kebermaknaan. Ramadan mengajarkan kita bahwa waktu bukan Sebagai dihabiskan, melainkan diisi Bersama nilai. Maka, pasca Idul Fitri, mari kita redefinisi produktivitas sebagai kemampuan Sebagai menghasilkan karya yang memberi dampak, bukan sekadar menyelesaikan tugas.
Menjadi Manusia Pasca-Ramadan
Bisa Jadi inilah esensi Di Ramadan dan Idul Fitri: bukan sekadar ritual, tapi transformasi. Di manusia konsumtif menjadi manusia kontemplatif, Di yang reaktif menjadi proaktif, Di yang sibuk menjadi produktif.
Kita perlu merenungkan bahwa setiap tindakan kecil adalah suara Sebagai identitas yang kita bangun. Maka setiap keputusan kita pasca-Lebaran-apakah Akansegera tetap bangun pagi, tetap menahan emosi, tetap belajar dan berkarya-adalah suara yang memperkuat siapa diri kita yang Terbaru. Kita telah menjalani Pelatihan sebulan penuh. Sekarang saatnya kita “naik kelas” menjadi insan yang tak hanya sabar dan taat, tetapi juga berkarya dan memberi manfaat.
Akhirnya, mari kita tempatkan karya sebagai Dibagian Di ibadah. Di Islam, bekerja adalah ibadah, menuntut ilmu adalah ibadah, Malahan menebar manfaat Untuk sesama pun ibadah. Maka pasca Idul Fitri, semangat produktivitas bukan sekadar Untuk diri sendiri, melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dan kontribusi kepada Kelompok.
Idul Fitri telah membersihkan hati. Kini saatnya kita membersihkan niat, memperkuat sistem, dan membangun kebiasaan kecil yang mengarah Di karya besar. Maka mari kita bangun sistem yang sehat, konsisten, dan bermakna-agar semangat Ramadan tak berhenti Di malam takbiran, tetapi berlanjut Di langkah-langkah produktif sepanjang tahun.
*) Dr M Hasan Chabibie
Staf Ahli Pembantu Presiden Tim Menteri Bidang Peningkatan Ekosistem Belajar Tinggi, Sains dan Keahlian Kemendiktisaintek
Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok
(nwk/nwk)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Sesudah Idul Fitri: Memperbaiki Produktivitas Kerja