PUBG Bikin Anak Rentan Lakukan Kekejaman? Begini Kata Dosen UM Surabaya


Jakarta

Pemerintah Mengkaji pembatasan game online usai ledakan Di SMAN 72 Jakarta. Game yang dimaksud yakni game online Di nuansa Pertempuran menggunakan senjata api Ke kategori first person shooter (FPS) ataupun battle royal seperti seperti Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG).

Bicara PUBG, peneliti dan dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Holy Ichda Wahyuni menjelaskan adanya potensi risiko game online Di unsur Kekejaman Di perilaku dan aspek psikologis anak serta remaja.

Risiko ini menurutnya lantaran anak merupakan individu yang sangat visual, yakni menyerap informasi dan belajar Di indera penglihatan. Holy mengatakan, anak juga cenderung meniru perilaku yang mereka lihat.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Untuk teori Social Learning Di Albert Bandura, anak belajar Melewati proses observasi dan peniruan (modeling). Ketika melihat karakter Untuk game memperoleh ‘reward‘ seperti Menang atau Skor Setelahnya melakukan Kekejaman, anak bisa meniru perilaku itu dan menganggapnya wajar,” jelasnya Rabu (12/11/25)

Ia mencontohkan, anak-anak juga kerap meniru adegan pahlawan super seperti Power Rangers usai menontonnya. Kendati demikian, menurutnya ada perbedaan kadar pengaruh Di menonton Di memainkan game bermuatan Kekejaman.

“Untuk game anak bukan hanya penonton, tapi pelaku aktif yang mengendalikan karakter. Maka pengaruhnya secara psikologis tentu lebih besar,” ucapnya.

Bahaya Empati Anak Turun

Holy menambahkan, paparan game bermuatan Kekejaman tanpa pendampingan berisiko membuat empati anak menurun. Ke Pada Yang Sama, desensitisasi ini juga membuat toleransi anak Meresahkan Ke Kekejaman.

Ia menggarisbawahi, dampak paparan gim bermuatan Kekejaman tidak sama Ke semua anak. Risiko ini khususnya mengintai anak yang kekurangan sosok teladan. Bagi itu, faktor lingkungan keluarga, perkembangan kognitif, dan Standar relasi sosial-emosional berperan Untuk Pra-Penanganan dampaknya.

“Anak yang tidak Memperoleh figur teladan positif Di Tempattinggal lebih rentan meniru perilaku agresif Di media. Apalagi Ke masa pencarian jati diri, mereka bisa melihat game seperti PUBG sebagai sarana Bagi merasa diterima dan berprestasi,” ucapnya.

Butuh Peran Orang Tua dan Lembaga Belajar

Holy menilai, jika diterapkan, pembatasan game seperti PUBG hanya efektif sebagai solusi Sambil. Bagi itu, pendekatan edukatif dan pendampingan berkelanjutan tetap penting.

“Yang perlu dibangun bukan sekadar larangan, tapi dialog kritis tentang nilai moral, empati, dan konsekuensi Di tindakan Untuk dunia maya. Literasi digital perlu ditanamkan agar anak bisa membedakan Di realitas dan fantasi,” ucapnya.

Ia menjelaskan, keluarga dan lembaga Belajar punya peran besar Untuk membentuk Kearifan Lokal Global bermain yang sehat. Tidak hanya memberi batasan waktu bermain, orang tua menurut Holy juga perlu paham isi dan nilai yang dibawa game.

“Orang tua harus aktif berdialog Di anak. Untuk Kajian saya, Prototipe ini saya sebut parent collaborative Di pengasuhan empatik,” ucapnya.

Ke Pada Yang Sama, lembaga Belajar menurutnya Memperoleh tanggung jawab besar Bagi menanamkan literasi digital dan literasi emosional. Untuk Situasi Ini, siswa diajarkan Bagi dapat mengkritisi konten digital, memahami etika bermedia, dan konsekuensi sosial atas perilaku online.

Ia menjelaskan, berdasarkan teori ekologi perkembangan Urie Bronfenbrenner, anak tumbuh Untuk berbagai sistem yang saling berinteraksi, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial.

“Maka, membentuk Kearifan Lokal Global bermain yang sehat perlu sinergi lintas sistem. Sekolah sebagai pusat literasi digital, orang tua sebagai pendamping moral, dan pemerintah sebagai penyedia regulasi yang melindungi anak Di paparan konten berisiko,” ucapnya.

Perlu Dukungan Pemerintah

Ia Mendorong agar pemerintah menerapkan integrasi Belajar karakter digital Untuk kurikulum sekolah, pelatihan digital parenting Bagi orang tua, serta pengawasan ketat Di rating usia dan konten game.

“Jika semua sistem bekerja bersama, kita bukan hanya membatasi dampak negatif game, tetapi juga memanfaatkan potensinya Bagi membangun generasi digital yang cerdas dan berempati,” ucapnya.

Terpisah, Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Hetifah Sjaifudian Berkata banyak hal yang harus dilakukan berbagai pihak Bagi memastikan Keselamatan Di sekolah maupun tempat publik lain. Upaya ini melibatkan tenaga Di bidang psikologi, bimbingan konseling, Kementerian Belajar Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), guru, dan orang tua.

“Saya kira juga ilmu psikologi, maupun juga tadi bimbingan konseling, Justru Kementerian Dikdasmen Di Untuk kurikulumnya nanti, kita para orang tua pun harus memahami kehidupan anak kita dan juga perilaku mereka sehari-hari. Kalau Menunjukkan ada situasi yang berbeda, Bisa Jadi kita juga harus lebih peka ya. Guru-guru juga seperti itu,” ucapnya Di Gedung BJ Habibie, Badan Kajian dan Pembaharuan Nasional (BRIN), Jakarta, Senin (10/11/2025).

Hetifah menilai pembatasan game online seperti PUBG juga berkemungkinan dapat dilakukan. Kendati demikian, upaya pengamanan Di aspek lain menurutnya harus dilakukan.

“Termasuk juga Bisa Jadi itu (pembatasan game online), tapi itu bukan satu-satunya, banyak hal lain yang membuat situasi ini terjadi, termasuk juga sistem pengamanan Di sekolah dan hal lainnya,” ucapnya.

Kata Mendikdasmen soal Pembatasan Game

Ke Pada Yang Sama, Pembantu Presiden Pembantu Presiden Belajar Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti Berkata Akansegera ada pembahasan lintas kementerian Yang Berhubungan Di permintaan Istana Bagi membatasi game hingga media sosial.

“Nanti kita memang harus bicara lintas kementerian, ini kan paling tidak melibatkan 4 kementerian. Kami Di Kementerian Belajar Dasar dan Menengah Setelahnya Itu Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital), Setelahnya Itu Kementerian P3A (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan juga Kementerian Agama,” ucapnya usai membuka International Conference Cross-Cultural Religious Literacy, Di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2025).

Mu’ti mengatakan, kewenangan Untuk mengatur media dan game ada Ke ranah Komdigi, bukan kementeriannya.

“Nanti kami Akansegera duduk bersama membicarakan masalah ini Lantaran kewenangan Bagi mengatur media ini bukan Ke kami kewenangannya ada Ke Komdigi,” ucapnya

(twu/nah)

Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: PUBG Bikin Anak Rentan Lakukan Kekejaman? Begini Kata Dosen UM Surabaya