Pedang Bermata Dua Aturan Diskualifikasi Kandidat Mahasiswa Tukang Bully Di Korsel


Jakarta

Universitas-universitas Di Korea Selatan kini Mengkaji riwayat tindak Kekejaman Untuk penerimaan mahasiswa Mutakhir. Akan Tetapi, hal ini ternyata juga memicu kekhawatiran Di kalangan akademisi.

Ada akademisi yang menilai, hal itu dapat Memperbaiki ketimpangan.

Pemerintah Korea Selatan memang Berencana mewajibkan universitas-universitas Untuk Memperkenalkan Aturan penerimaan mahasiswa Mutakhir antiperundungan mulai tahun Di. Akan Tetapi, banyak institusi telah menerapkan langkah-langkah tersebut Sebelum dini dan Menyediakan Pembatasan kepada pelamar yang Memperoleh riwayat perilaku buruk Di tahap awal Pembelajaran mereka.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Institusi-institusi terkemuka, termasuk Universitas Nasional Seoul dan Universitas Nasional Kyungpook termasuk Di Antara yang telah Memperkenalkan langkah-langkah ini.

The Straits Times melaporkan, data yang diperoleh Bersama kantor anggota Legislatif Partai Rebuilding Korea, Kang Kyung-sook, Menunjukkan enam Untuk 10 universitas unggulan nasional Negeri itu menolak 45 pelamar Di penerimaan mahasiswa Mutakhir 2025 Sebab catatan Kekejaman Di sekolah.

Penolakan tersebut mencakup dua pelamar Ke Universitas Nasional Seoul dan 22 pelamar Ke Universitas Nasional Kyungpook, yang tahun ini menerapkan sistem hukuman berbasis Skor Untuk menilai Kartu Kuning.

Kyungpook Mengurangi 10 Skor Untuk Kartu Kuning level 1 hingga 3, 50 Skor Untuk level 4 hingga 7, dan 150 Skor Untuk Peristiwa Pidana pemindahan atau pengusiran (level 8 hingga 9). Ke-22 pelamar yang ditolak tersebut gagal memenuhi Pembatasan ini Di semua jalur akademik, Seni Kekayaan Budaya, atletik, dan esai.

“Ini bukan sekadar Kartu Kuning pribadi. Kekejaman Di sekolah merupakan Kartu Kuning kepercayaan sosial,” kata pihak universitas Untuk sebuah pernyataan, dikutip Untuk Times Higher Education.

“Kami percaya universitas Memperoleh tanggung jawab Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas,” ujar kampus.

Peluncuran sistem Pembatasan nasional ini Berencana menandai perubahan Kekayaan Budaya Dunia yang signifikan Untuk cara Korea Selatan menyikapi disiplin sekolah.

Bullying Perlu Perbaikan Komunal

Profesor madya Di Departemen Bahasa dan Sastra Korea Di Universitas Yonsei, Theodore Jun Yoo, mengatakan Aturan tersebut menyoroti urgensi moral Untuk Topik perundungan dan kegagalan sistemik Untuk mengatasinya.

Ia mengatakan menolak siswa secara langsung merupakan langkah Ke arah yang benar. Akan Tetapi, ia juga memperingatkan Peristiwa Pidana perundungan terus memburuk dan dimulai jauh lebih awal, Malahan Di kelas empat.

Yoo mengatakan sekolah sering terburu-buru membentuk Federasi disiplin hanya Untuk menyelesaikan masalah Di atas Alattulis, alih-alih menangani dinamika sosial yang lebih mendalam.

“Hingga lembaga Pembelajaran mulai memandang perundungan bukan hanya sebagai Kartu Kuning aturan tetapi sebagai luka sosial yang mendalam yang membutuhkan perbaikan komunal, maka siklus yang merusak ini Berencana terus berlanjut, yang merugikan semua pihak yang terlibat,” jelasnya.

Sebagian Menilai Ini Memperkuat Ketimpangan

Beberapa lembaga sudah Memperkenalkan sikap tanpa toleransi.

Sepuluh sekolah guru nasional, termasuk yang berada Di Gyeongin, Busan, dan Seoul, telah Memperkenalkan mulai tahun Di, setiap pelamar Bersama catatan Kekejaman Di sekolah terlepas Untuk tingkat keparahannya Berencana otomatis didiskualifikasi.

Akan Tetapi, para pendidik memperingatkan Aturan tersebut menempatkan universitas Di risiko melampaui peran Pembelajaran mereka.

Profesor Studi Korea Di Universitas Wanita Seoul, David A Tizzard mengatakan Kendati akuntabilitas atas Kartu Kuning Di masa lalu sangat penting, pengecualian semacam ini dapat memperkuat ketimpangan.

“Pembelajaran itu sendiri seringkali merupakan bentuk koreksi yang paling ampuh,” ujarnya.

“Mengecualikan kaum muda seperti ini berisiko memperkuat siklus marginalisasi… setiap penilaian berbasis moral atau karakter seharusnya bernuansa, proporsional, dan transparan, alih-alih bersifat menghukum atau absolut,” terangnya.

Tizzard menambahkan, Aturan Mutakhir tersebut dapat memperparah ketimpangan jika diterapkan secara tidak proporsional kepada siswa yang kurang beruntung atau mereka yang bersekolah Di sekolah Bersama Kekayaan Budaya Dunia pelaporan yang lebih ketat.

Genangan Air Dukungan Kelompok

Akan Tetapi, Aturan ini ternyata Merasakan banyak Dukungan. Chang H Kim Untuk Universitas Xi’an Jiaotong-Liverpool mencatat Dukungan publik Pada langkah tersebut sangat besar.

“Lebih Untuk 90 persen orang mendukung Aturan tersebut,” ujarnya.

“Aturan ini menjadikan universitas bertindak sebagai penjaga moral, yang mengaburkan batasan tradisional tentang tujuan universitas.”

Ia memperingatkan perubahan tersebut dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan Pada Keadaan siswa.

“Aturan ini bisa menjadi pedang bermata dua,” ujarnya.

“Aturan ini Mungkin Saja membantu para korban merasa lebih aman dan lebih terdukung, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang penuh kecemasan dan ketidakpercayaan, Di mana siswa takut bahwa pertengkaran kecil apa pun dapat meninggalkan bekas permanen Di masa Di mereka,” bebernya.

(nah/pal)

Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Pedang Bermata Dua Aturan Diskualifikasi Kandidat Mahasiswa Tukang Bully Di Korsel