Jakarta –
Sebagai Dibagian Untuk Dewan Belajar Tinggi, saya merasakan denyut yang kuat Untuk upaya bangsa ini menata kembali arah Belajar tinggi. Untuk pelbagai pertemuan, diskusi, dan agenda Keputusan, selalu muncul pertanyaan mendasar: apakah kampus-kampus kita sudah benar-benar berdampak?
Pertanyaan ini kini menemukan momentumnya Untuk penyelenggaraan Konferensi Puncak Belajar Tinggi Indonesia (KPPTI) Untuk kali pertama yang digelar Di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025. Forum nasional ini hadir sebagai ekspresi kesadaran kolektif Untuk mempercepat transformasi Belajar tinggi Indonesia. Bersama mengusung tema, “Kampus Berdampak: Konsolidasi dan Penguatan Ekosistem Belajar Tinggi Di Indonesia Emas 2045”, menandai perubahan paradigma Belajar tinggi Indonesia: Untuk orientasi administratif Di impact creation yang memberi manfaat nyata Untuk Kelompok dan peradaban.
Menguji Relevansi
Untuk satu dekade terakhir, Belajar tinggi Berjuang Bersama ujian besar relevansi. Lulusan perguruan tinggi tidak selalu selaras Bersama kebutuhan dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik 2024 mencatat sekira sepuluh persen pengangguran terbuka Di Indonesia berasal Untuk lulusan sarjana dan diploma. Kejadian Luar Biasa ini mengindikasikan adanya jarak Di apa yang diajarkan dan apa yang dibutuhkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Thomas Friedman (2005) pernah mengingatkan bahwa universitas yang gagal Mengadaptasi Bersama dunia yang berubah cepat Berencana tertinggal Dari Perkembangan yang datang Untuk luar sistem akademik. Pandangan itu kini terbukti, bahwa dunia kerja 5.0 menuntut lifelong learning, kemampuan Mengadaptasi lintas bidang, dan kepekaan sosial.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Belajar Tinggi juga sejatinya telah menegaskan fungsi tridarma sebagai ruang Pembuatan peradaban, bukan sekadar transmisi pengetahuan. Akan Tetapi Untuk praktiknya, masih banyak perguruan tinggi masih berkutat Ke rutinitas administratif, akreditasi, dan laporan-laporan formal. Paradigma “kampus berdampak” yang diusung KPPTI Melakukanupaya membalik keadaan itu, yakni Untuk kampus yang sibuk “melaporkan”, menjadi kampus yang “aktif menghasilkan perubahan”.
Untuk dua dekade terakhir, akses Di Belajar tinggi memang membaik. Rasio partisipasi kasar Meresahkan, kampus tumbuh Di hampir setiap kabupaten. Tetapi, sebagaimana dicatat UNESCO (2023), bahwa ekspansi tanpa orientasi mutu dan dampak justru berisiko menurunkan Standar. Kini arah pembangunan Belajar tinggi harus bergeser Untuk sekadar penambahan jumlah institusi Di pembentukan ekosistem yang sehat dan kolaboratif. Artinya, PTN, PTS, PTKL, dan PTLN harus saling melengkapi, bukan bersaing destruktif. Industri, pemerintah Area, asosiasi profesi, dan Kelompok sipil menjadi Dibagian integral Untuk ekosistem tersebut.
Inilah makna sejati Untuk Kampus Berdampak, yakni gagasan yang menggabungkan empat orientasi utama: relevance (kesesuaian Bersama kebutuhan Kelompok dan industri), resilience (daya Bertahan Pada perubahan Internasional), research impact (kontribusi nyata hasil Eksperimen), dan responsibility (akuntabilitas sosial dan moral kampus Pada publik).
Tata Kelola Berdampak
Untuk forum-forum Dewan Belajar Tinggi, sering disorot soal melemahnya Kearifan Lokal Dunia ilmiah. Banyak kampus yang terjebak Ke angka sitasi dan Posisi, Akan Tetapi kehilangan semangat ilmiah sebagai pencarian kebenaran. Padahal, Untuk pandangan Clark Kerr (1963), universitas ideal digambarkan sebagai community of scholars, yakni Kelompok pengetahuan yang berkomitmen Ke pencerahan, bukan sekadar tempat memproduksi ijazah.
Kearifan Lokal Dunia ilmiah unggul yang berbasis integritas, kolaborasi, dan kebebasan akademik harus segera dipulihkan. Untuk konteks itu, KPPTI 2025 Memperkenalkan topik “Kearifan Lokal Dunia Ilmiah Unggul: Mengembalikan Harkat Institusi Akademik dan Eksperimen” yang menempatkan Eksperimen sebagai roh universitas. Karenanya, orientasi kampus yang berdampak sejatinya bergerak Untuk pencapaian impact factor Di penciptaan societal impact yang dirasakan Kelompok.
KPPTI dibangun sebagai ruang sinergi lintas sector, sebuah policy ecosystem lab tempat regulator, akademisi, industri, dan Kelompok bertemu Untuk merumuskan arah transformasi Belajar tinggi. Lewat plenary sessions, leadership clinics, dan networking forums, konferensi ini ingin membangun peta jalan transformasi Belajar tinggi Indonesia.
Agenda konsolidasi ini sejalan Bersama Visi Indonesia Emas 2045 yang menempatkan pembangunan sumber daya manusia unggul sebagai pilar utama. Untuk jangka menengah, arah pembangunan Belajar tinggi ditopang Dari Ide Strategis Kemdikti-Saintek 2025-2029 yang menargetkan peningkatan keterserapan lulusan, Eksperimen terapan, dan internasionalisasi.
Keputusan seperti Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) dan Indeks Kinerja Utama (IKU) adalah pijakan awal, tetapi belum cukup tanpa penguatan kolaborasi antarjalur Belajar tinggi. Sebab itu, konferensi ini mengajak seluruh jalur Belajar tinggi, meliputi: PTN, PTS, PTKL (Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga), dan PTLN (Perguruan Tinggi Luar Negeri), Untuk berkolaborasi Untuk satu ekosistem bersama. Kesetaraan dan jejaring antarjalur inilah yang menjadi inti Untuk “ekosistem berdampak.”
Politik Luar Negeri Pengetahuan
Belajar tinggi yang berdampak tidak Mungkin Saja dilepaskan Untuk etika dan tanggung jawab sosial. Ilmu tanpa nilai jelas berbahaya, seperti diingatkan Albert Einstein (1954), “Science without religion is lame, religion without science is blind.” Maka, membangun kampus berdampak berarti memulihkan Kesejajaran Di Kepentingan akademik dan moralitas sosial.
Di banyak Negeri, universitas menjadi lokomotif perubahan sosial. University of Oxford membangun Oxford Social Impact Lab. Sambil Di Jepang, Tokyo University Menyusun model Campus Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Hub. Indonesia perlu menempuh jalan serupa, yakni Bersama meneguhkan kampus sebagai agen Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development actor).
Sebagaimana diatur Untuk Pasal 4 Perundang-Undangan 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, perguruan tinggi berfungsi Menyusun peradaban bangsa Lewat Pembuatan ilmu pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan. Fungsi itu kini menuntut implementasi nyata, misalnya, keterlibatan perguruan tinggi Untuk solusi Krisis Lingkungan, Energi Ramah Lingkungan, Transformasi Digital pelayanan publik, dan pemberdayaan Kelompok.
Era Internasional menuntut universitas menjadi pelaku Politik Luar Negeri pengetahuan. Jumlah mahasiswa Asing Di Indonesia Pada ini masih relatif rendah dibandingkan Bersama Malaysia yang mencapai lebih Untuk delapan persen Untuk jumlah seluruh mahasiswa. Padahal, internasionalisasi kampus tidak berhenti Ke kebanggaan semata, ia menjadi instrumen soft power bangsa.
KPPTI 2025 mengangkat dimensi ini Lewat sesi “Internasional Knowledge, Local Impact”, menegaskan pentingnya Politik Luar Negeri akademik sebagai Dibagian Untuk strategi Internasional Indonesia. Pertukaran dosen dan mahasiswa, Eksperimen lintas Negeri, serta keterlibatan diaspora akademik menjadi jembatan Untuk reputasi ilmiah Indonesia Di dunia.
Ke akhirnya, ukuran Prestasi transformasi Belajar tinggi terletak Ke kemauan kita Untuk berkolaborasi dan berbagi, bukan Ke banyaknya peraturan yang dibuat. KPPTI 2025 hadir Untuk mengonsolidasikan langkah itu, yakni menyatukan kampus besar dan kecil, negeri dan swasta, Untuk semangat kebersamaan.
Seperti diingatkan John Dewey (1916), “Education is not preparation for life, education is life itself.” Belajar tinggi hendaknya melampaui batas proyek teknokratis dan menjelma sebagai denyut kehidupan bangsa, yakni denyut yang memberi kecerdasan, kemerdekaan, dan harapan Untuk masa Di Indonesia.
*) Ahmad Tholabi Kharlie
Anggota Dewan Belajar Tinggi Kemdiktisaintek dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
(nwk/nwk)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Konsolidasi Kampus Berdampak











