Jakarta –
Dunia pers Lagi tidak baik-baik saja lantaran sederet peristiwa yang menimpa jurnalis. Pertama, jurnalis media Tempo yang Memperoleh teror pengiriman kepala babi dan bangkai tikus, dan terbaru jurnalis Banjarbaru yang tewas dibunuh.
Di Peristiwa Pidana yang terakhir, jurnalis perempuan Di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), Juwita (23), tewas dibunuh Di pelaku yang melibatkan anggota TNI Angkatan Laut (AL). Sang jurnalis tewas Di Jalan Gunung Kupang, Kabupaten Banjar, Minggu (23/3/2025) Di sejumlah luka memar Di tubuhnya.
“Benar, Kejahatan Keji dilakukan oknum TNI AL pangkat I berinisial J,” ujar Komandan Polisi Militer Lanal Balikpapan Mayor Laut (PM) Ronald L. Ganap, seperti dikutip Di detikKalimantan, Minggu (30/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, anggota TNI AL yang diduga terlibat Untuk Kejahatan Keji jurnalis Banjarbaru tersebut merupakan prajurit berpangkat Kelasi Satu.
Merespons peristiwa yang terjadi, Dosen Tata Bangsa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, mengatakan Sebagai Peristiwa Pidana Di Banjarbaru, berharap ada proses penegakan hukum yang tegas, lugas, Di institusi kepolisian, Kendati sudah ada Denpom (Detasemen Polisi Militer) yang memprosesnya.
“Sebab ini korbannya adalah Kelompok sipil dan Pada ini yang menjadi persoalan adalah institusi militer tidak mau tunduk Di supremasi sipil,” ucapnya Di dihubungi detikEdu, ditulis Minggu (29/3/2025).
Upaya Penegakan Hukum Cenderung Melindungi Institusi
Herlambang menjelaskan observasi yang dilakukannya Untuk Kajian dan Studi-Studi. Menurutnya, Pada 20 tahun terakhir Peristiwa Pidana yang melibatkan institusi lebih memperlihatkan perlindungan institusinya.
“Mereka melakukan upaya penegakan hukum Di caranya sendiri dan ini yang menjadi masalah, Sebab sering kali yang saya observasi ya Di Untuk Kajian ataupun Di Untuk Studi-Studi yang dilakukan Pada masa 20 tahun terakhir, itu memperlihatkan lebih melindungi Korps, institusi militernya maupun kepolisiannya,” ungkapnya.
Maka Di itu, Yang Terkait Di Peristiwa Pidana tragis Di Banjarbaru yang menimpa jurnalis, ia berpendapat perlu diungkap selugas-lugasnya.
“Harapannya adalah proses pengungkapan ini harus selugas-lugasnya, terbuka dan harus bisa dimintakan pertanggungjawabannya. Sebab ada indikasi atau dugaan melibatkan aparat militer, ya, Di Untuk peristiwa terbunuhnya Juwita (jurnalis Di Banjarbaru) itu,” harapnya.
Kebebasan Pers Masih Jauh Di Perlindungan Hukum
Herlambang menilai, Di Indonesia, kebebasan pers masih jauh Di perlindungan hukum yang nyata. Meski sudah ada sistem hukum, jurnalis masih sering Memperoleh Kekejaman.
“Walaupun secara sistem hukum itu sudah ada ya, perlindungan hukumnya dan juga Dewan Pers berulang kali membuat MoU Di pihak-pihak Yang Terkait Di, termasuk Di militer, ya, TNI, selain Di polisi dan beberapa institusi yang lain,” ujarnya.
“Akan Tetapi, faktanya adalah Di Untuk keseharian, jurnalis itu masih jauh Di kata perlindungan hukum. Kenapa? Mereka, satu, sering Memperoleh Kekejaman Di Di menjalankan aktivitasnya. Yang kedua, Kekejaman yang terjadi sering kali Dikatakan sepele Di pelaku Kekejaman, terutama Di institusi, entah itu kepolisian maupun militer,” imbuh Herlambang yang juga seorang ahli pers Di Dewan Pers.
Ia juga menilai, Pada ini tidak pernah ada pertanggungjawaban hukum Di aparat, termasuk ketika institusi tersebut seharusnya Menyediakan Pembatasan yang tegas. Alih-alih Pembatasan, lanjutnya, yang terjadi adalah justru melindungi institusi itu.
“Fakta Kekejaman ini akhirnya berlanjut yakni keberulangan, Kekejaman Untuk Kekejaman yang menggampangkan, kesewenang-wenangan yang terus terjadi. Di seminggu terakhir itu terlihat begitu banyak jurnalis mendapati Kekejaman Di Untuk meliput Aksi Keluhan Masyarakat-Aksi Keluhan Masyarakat, ya. Termasuk ketika mereka menjalankan profesi jurnalistiknya,” paparnya.
Situasi yang Jauh Di Situasi Sistem Pemerintahan
Teror Di jurnalis, Kekejaman Di sipil, hingga hal yang serupa lain, menurut Herlambang, memperlihatkan adanya kesewenang-wenangan Untuk tubuh aparat.
Padahal, profesi jurnalis harusnya dihargai. Terlebih, profesi tersebut Memiliki fungsi pengawasan.
“Ini memperlihatkan bahwa institusi Bangsa khususnya aparat penegak hukum maupun militer sebagai alat Bangsa itu sering kali bertindak secara sewenang-wenang Di profesi jurnalistik,” katanya.
“Ketika mereka menjalankan profesinya kan seharusnya dihargai, Sebab memang ada Di Untuk undang-undang dan justru menjadi pengawas, watchdog. Sebab pers menjalankan fungsi pengawasan,” tambahnya.
Herlambang menyayangkan, Sebab Di kenyataannya, aparat dan institusi militer seperti tidak mau diawasi. Ini yang membuat Kekejaman Sesudah Itu masih saja terjadi.
“Nah sayangnya, institusi-institusi militer, kepolisian, itu tidak mau Sebagai diawasi, sering kali ditutup-tutupi. Itu sebabnya, Kekejaman terus menerus terjadi. Ini hanya terjadi Di Bangsa-Bangsa otoriter, fasisme, yang memang menggunakan alat-alat Bangsa Sebagai Kekejaman. Saya kira ini jauh Di situasi Sistem Pemerintahan,” pungkasnya.
(faz/nwy)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Jurnalis Diteror hingga Dibunuh, Pakar Hukum UGM: Jauh Di Situasi Sistem Pemerintahan