Geologi Labil, Siklon yang Aneh, Hutan Hilang


Jakarta

Bencana Alam bandang Hingga Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh terus menyisakan korban. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Sabtu, 6 Desember 2025 ada sebanyak 914 korban ditemukan meninggal.

Pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus mantan Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati Menginformasikan sejumlah sebab dahsyatnya Bencana Alam bandang maupun longsor yang menimpa Lokasi-Lokasi tersebut.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Struktur Geologi dan Geomorfologi

Dwikorita menyebut, Daerah Sumatera Memiliki struktur geologi yang sangat labil. Hingga sana terdapat batuan-batuan yang terbentuk Untuk tumbukan lempeng dan naik Untuk dasar laut.

Batuan tersebut Untuk Situasi retak Supaya mudah membuat permukaan Hingga atasnya Merasakan longsormeskipun digoncang gempa kecil. Hasil longsoran tersebut lalu menyumbat air sungai. Lalu, terbentuklah bendungan alami yang suatu ketika bisa jebol.

“Retakan-retakan itu membuat Daerah ini sangat rentan Pada gerakan tanah,” katanya dikutip Untuk laman UGM, Minggu (7/12/2025).

Ditambahkan dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan UGM Dr Ir Hatma Suryatmojo, SHut, MSi, IPU struktur geomorfologi Sumatera membuat Daerah ini memang rentan Pada luapan besar Pada hujan turun.

Lereng-lereng terjal Untuk Aceh hingga Lampung mengalirkan air langsung Hingga dataran rendah. Jalur alami ini mempercepat aliran dan membawa material Untuk jumlah besar ketika intensitas hujan Meresahkan.

“Bersama pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material Untuk jumlah besar dan Kelajuan tinggi,” ujar Hatma.

Krisis Lingkungan Perbesar Dampak Bencana Alam

Tak cuma itu, Guru Besar Metode Geologi dan Lingkungan UGM tersebut menyebut soal Krisis Lingkungan. Situasi iklim yang terjadi akhir-akhir ini memperparah dampak longsor dan Bencana Alam.

Hujan ekstrem terjadi Lantaran seringnya kenaikan suhu mencapai 1,55 derajat Celcius. Kenaikan suhu juga Berpeluang mencapai 3,5 derajat Celcius Hingga akhir abad, apabila tidak diantisipasi.

Khususnya Hingga Sumatera, sistem hidrologi Hingga sana tidak bisa mampu lagi menahan laju air. Diketahui, curah hujan Hingga Sumatera sendiri mencapai ratusan milimeter per hari.

“Kalau mitigasi ekologisnya dilewatkan, kita bisa musnah,” ujar Dwikorita.

Adanya Anomali Siklon Tropis

Setelahnya Itu, anomali siklom tropis menurut Dwikorita juga turut memperparah Situasi. Pada ini, siklon bergerak tidak seperti biasanya.

Siklon yang tidak menembus zona tropis, kini tumbuh dan bergerak melintasi daratan. Supaya menjadikan hujan terjadi lebih sering daripada biasanya.

“Siklonnya tidak lagi patuh Di jalurnya, dan ini anomali yang Lebihterus sering muncul,” tuturnya.

Dwikorita menegaskan anomali siklon tidak terjadi seketika. Hal itu muncul sebagai hasil Untuk akumulasi Kejadian Luar Biasa yang terjadi Sebelumnya Itu.

Mulai Untuk kemunculan Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun yang lalu. Siklon Senyar juga memperkuat pendapat Dwikorita tersebut.

Dwikorita melihat Siklon Senyar tumbuh Hingga area yang tak biasanya. Siklon juga bergerak menyebrangi daratan dan tiba Hingga Semenanjung Malaya.

“Ini anomali yang mengindikasikan Krisis Lingkungan Lebihterus mempengaruhi dinamika siklon Hingga kawasan Indonesia,” pungkasnya.

Hutan Hilang, Ekologis Rusak

Bencana Alam bandang Hingga Sumatera yang yang membawa kayu-kayu dan sedimen, menurut Hatma Menunjukkan Situasi ekologis yang kian menurun. Pembukaan lahan Hingga Lokasi hulu, pemukiman yang merangkak naik Hingga dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan.

Secara alami hutan Memiliki kemampuan besar Bagi menahan air hujan. Malahan Untuk Situasi ideal, hingga sepertiga air dapat tertahan Hingga tajuk dan lebih Untuk separuh meresap Hingga Untuk tanah Sebelumnya mencapai permukaan. Ketika tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak Di sungai dan mempercepat terjadinya Bencana Alam.

“Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan. Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” imbaunya.

(cyu/nwk)


`;
constructor() {
super()
this.attachShadow({ Tren: “open” })
this.shadowRoot.innerHTML = TentangPenulis.html
}

async connectedCallback() {

if (elementType === ‘single’) return false;

const { default: Swiper } = await import(

);
this.SwiperClass = Swiper;
const swiperContainer = this.shadowRoot.querySelector(‘.mySwiper’);
new this.SwiperClass(swiperContainer, {
slidesPerView: 1,
spaceBetween: 18,
navigation: {
nextEl: this.shadowRoot.querySelector(“.swiper-button-next”),
prevEl: this.shadowRoot.querySelector(“.swiper-button-prev”),
},
pagination: {
el: this.shadowRoot.querySelector(“.swiper-pagination”),
clickable: true,
},
});
}
}
customElements.define(elementTemplate, TentangPenulis)

Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Geologi Labil, Siklon yang Aneh, Hutan Hilang