Jakarta –
Jarak Sumenep Ke Madura Hingga Yogyakarta terbentang sejauh hampir 500 km. Akan Tetapi, jarak ini tak membuat gentar Mawaidi Sebagai menempuh Belajar hingga Hingga jenjang tinggi.
Mawaidi, adalah anak kelahiran Madura asli. Dari ia usia muda, ayahnya berprofesi sebagai nelayan dan ibunya sebagai petani jagung. Kehidupannya Ke Madura syarat Akansegera Belajar agama.
Meski banyak yang tidak bersekolah formal dan membaca huruf latin, tapi banyak orang bisa mengaji. Termasuk ibunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ibuku tidak sekolah formal; meski tidak bisa membaca huruf latin, ibuku bisa mengaji,” ucapnya kepada detikEdu, Minggu (27/7/2025).
Justru, Ke kampungnya, Toraja, Desa Romben Barat, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Belajar agama lebih diutamakan dibanding Belajar formal
“Ke kampungku, Belajar agama lebih utama ketimbang Belajar umum,” imbuhnya.
Maka itu, Dari sekolah dasar, ia menempuh Belajar Ke lembaga berbasis agama, seperti madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA).
Hampir Putus Sekolah
Lantaran basis Belajar agama menjadi yang utama, Mawaidi hampir Merasakan putus sekolah. Sebelumnya Hingga jenjang SMA, orang tuanya ingin agar dia menikah.
Ke Samping Itu, guru mengajinya juga meminta orang tuanya Sebagai mengirimkan Mawaidi muda Hingga pondok pesantren. Akhirnya, masa SMA ia habiskan Ke pondok pesantren.
“Ke jenjang MA itulah aku sekalian mondok Ke Annuqayah, Ke desa Guluk-Guluk, sebuah desa yang bisa ditempuh orang tuaku Di satu jam lebih setiap bulan ketika mereka mengunjungiku Ke hari Jumat,” ceritanya.
Usai SMA, ia kembali dihadapkan Ke permintaan orang tuanya Sebagai segera menikah. Ke kampungnya, menikah muda Untuk laki-laki bukanlah hal yang awam.
Akan Tetapi, lagi-lagi Mawaidi enggan Sebagai menikah Di itu. Ke pikirannya, ia ingin melanjutkan Hingga jenjang kuliah.
“Tapi, aku tetap tidak mau, Ke Samping Lantaran aku Di itu Memiliki alasan yang kuat Sebagai kuliah,” katanya.
Kuliah Tidak Ada Biaya, Pilih Cari Beasiswa
Keinginannya Sebagai kuliah tak lepas Di masa-masa ia Ke pondok pesantren. Pondok itu bernama Annuqayah, yang berada Ke Lokasi Lubangsa.
Annuqayah merupakan pesantren tertua Ke Sumenep, yang berdiri Ke 1887. Pesantren tersebut dikenal inklusi Pada semua bidang keilmuan; Di kitab kuning (bahasa Arab, fikih, tasawuf), bahasa Inggris, sains, jurnalistik, Justru hingga sastra seperti teater, puisi, dan cerpen.
“Ketika pertama kali aku mondok, aku daftar dan masuk Badan Pembuatan Bahasa Asing (BPBA) konsentrasi bahasa Arab Didalam tujuan agar aku punya bidang penguasaan bahasa Asing yang relevan Didalam kebutuhan Belajar agama Ke Di itu,” ungkap Mawaidi.
“Tapi, menjelang tahun kedua, aku merasa kurang Semangat dan memilih bergabung komunitas sastra Ke luar lembaga resmi milik pondok,” ucapnya.
Berawal Di komunitas sastra itu, ia terus mengeksplorasi dirinya. Ia mengenal dunia perpustakaan, jurnalistik, Justru organisasi santri Ke pesantren.
Mawaidi juga mulai terlibat Di produk-produk media, yang mencakup rubrik sastra: puisi dan cerpen. Kehadiran media-media Di luar Annuqayah pun disambut baik Didalam pesantren.
“Kami para santri Didalam mudah mengakses majalah pesantren Sidogiri, majalah sastra Horison, majalah Alfikr Nurul Jadid Paiton, Tempo, Gatra, Hidayatullah, Annida, Koran Radar Madura, Jawa Pos, Memorandum, tabloid, dan masih banyak lagi Lantaran begitu beragam. Jangankan majalah, komik pun bisa dijumpai Ke perpustakaan-perpustakaan,” paparnya.
Di mondok, Mawaidi juga aktif mengikuti lomba-lomba tingkat lokal seperti class meeting dan tingkat nasional seperti yang diselenggarakan Malang Post dan Yayasan Rayakultura asuhan Naning Pranoto.
“Hadiah pertamaku Di lomba menulis cerpen adalah novel Tempattinggal Cinta (2006) karya Mustofa W. Hasyim,” lanjutnya.
Ke akhirnya, Pengalaman Hidup dan keterlibatannya Ke banyak kegiatan pesantren membuat dirinya ingin melanjutkan kuliah. Akan Tetapi, ia tidak Memiliki Dukungan Di orang tua Lantaran masalah biaya.
Hingga akhirnya, informasi Di sekolah Memperkenalkan penjaringan beasiswa Bidik Misi jalur undangan. Beasiswa itu teruntuk Untuk siswa yang Memiliki prestasi secara akademik dan nonakademik.
Mawaidi pun ikut berpartisipasi Didalam melampirkan sertifikat Kampiun cerpen tingkat lokal dan nasional seperti Kampiun Harapan Malang Post dan Karya Kandidatteratas Lomba Cerpen Remaja Di Yayasan Rayakultura.
“Di pengumuman tiba, Di empat kelas angkatanku, dua orang yang diterima: salah satunya aku,” ujarnya.
Kuliah Sastra Ke Yogyakarta-Membangun Bisnisnya Sendiri
Mawaidi mengaku tak pernah membayangkan Akansegera kuliah Ke Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kala itu. Ke Di daftar beasiswa Bidik Misi ia hanya terpikirkan UIN Sunan Kalijaga dan UGM. Sebab Ke dua kampus itulah rata-rata alumni pondoknya banyak melanjutkan studi.
Ia tidak memilih UIN, Lantaran tidak ada prodi Sastra Indonesia. Dia juga tidak memilih UGM, Lantaran merasa minder.
Akhirnya Mawaidi mencari tahu kampus apa saja Ke Jogja yang Memiliki jurusan Sastra Indonesia. Ketemulah UNY dan ia menemukan dilema Di memilih Sastra Indonesia atau Belajar sastranya.
“Lantaran aku tidak punya orientasi Didalam Sebab Itu guru, maka Sastra Indonesialah yang akhirnya kupilih dan pilihan kedua Ke Di itu adalah Prodi Ilmu Sejarah,” ungkapnya.
Merantau sejauh ratusan kilometer Hingga Jogja bukan hal mudah baginya. Mawaidi sempat menumpang tinggal hingga menulis cerpen Sebagai dikirim Hingga media-media agar dapat honor.
Perjalanannya menulis Lalu mengantarkannya kepada banyak kenalan Ke jurusan sastra. Ia akhirnya tinggal Ke sebuah asrama Garawiksa milik Edi Mulyono, CEO Diva Press.
“Ke asrama ini aku mulai menulis Didalam rajin tanpa perlu memikirkan isi perutku. Pengasuh asrama sudah menyiapkan tempat gratis dan suplai beras Sebagai kebutuhan teman-teman penghuni asrama. Ke Di tinggal Ke asrama ini pula aku belajar menulis Bacaan bacaan populer,” tuturnya.
Tak lama tinggal Ke sana, ia pun memutuskan pindah Sebagai indekos. Kendati itu pilihan yang sulit, ia tetap harus mengatur uang bulanan Di beasiswa Rp 600 ribu, Sebagai hidup dan kuliahnya.
Ia pun mulai mencari kerja. Selain menulis, ia menjadi layouter freelance Ke sebuah penerbit. Sampai akhirnya lulus S1, ia meneruskan bekerja Ke percetakan dan mengelola sebuah distributor Bacaan.
Didalam pengalamannya, ia pun akhirnya Memiliki sebuah penerbit sendiri. Sebuah usaha yang ia dirikan Didalam semangat dan pengalamannya.
Sesudah 3 tahun, ia pun melanjutkan S2. Dia Membahas S2 jurusan Belajar Bahasa Sastra Indonesia Ke UNY. Pilihannya diambil Didalam Merencanakan jejaring penerbitannya yang membutuhkan multidisiplin.
“Ke kuliah magister ini entah mengapa aku menikmati dunia Eksperimen. Sebelumnya lulus, aku sudah punya publikasi artikel terindeks Sinta 2 sejumlah dua buah artikel Ke jurnal yang berbeda-beda dan gratis. Aku juga punya artikel terindeks Sinta 4 Ke sebuah jurnal dan Memberi honor kepada penulisnya sejumlah 1 juta. Ke Di itu, aku rajin menulis artikel baik secara mandiri, kolaborasi, maupun membantu teman-teman,” kata Mawaidi.
Usai lulus S2, dua dosennya meminta Sebagai mendaftar S3. Mawaidi mengaku tidak Memiliki biaya. Akan Tetapi, Di dua dosen itu ia akhirnya Merasakan beasiswa secara pribadi.
“Lantaran mereka sudah memulai pendidikanku Sebagai mencari ilmu, sebagai santri aku hanya bisa sami’na wa atha’na. Sebagai Lanjutnya, aku berkomitmen Sebagai bertanggung jawab Pada pilihanku sendiri Didalam membiayai pendidikanku. Guru-guruku telah Memberi jalan kepadaku dan aku wajib menjalankan amanah tersebut,” ujarnya.
Ke akhirnya, ia komitmennya berhasil dilakukan. Ke Rabu, 23 Juli 2025, ia berhasil melewati ujian promosi doktor Didalam judul disertasi “Ekopuitika Di Puisi-Puisi D. Zawawi Imron”.
Kini Ke usianya yang masih 32 tahun ia telah membuktikan, berasal Di tanah yang jauh sekali pun, mimpi bisa diraihnya. Sebagai anak Lokasi, Mawaidi mengatakan pentingnya Menunjukkan sikap etik dan membaur Didalam Komunitas.
“Aku sering kali melihat mahasiswa-mahasiswa Di Lokasi Hingga tempat perantauan sering membawa ego kultural masing-masing. Walaupun tidak semuanya demikian, sikap etik agar dapat diterima dan membaur Didalam Komunitas perantauan sangat urgen. Sudah saatnya sikap emik itu ditangguhkan agar mahasiswa Di Lokasi tidak Didalam Sebab Itu Energi Ke Di samudra,” katanya.
Kepada mahasiswa-mahasiswa, Mawaidi berpesan Sebagai tetap fokus kepada Wacana studi awal sebagaimana yang dicita-citakan. Ia mengatakan, jangan sampai mahasiswa Lokasi gugur Di kuliah Lantaran terlalu terlena Pada pergaulan Ke tanah rantau.
“Memang, Sebagai menjadi kaya tidak perlu mengenyam kuliah. Tapi, Memiliki mindset menjadi bangsa yang besar perlu didapatkan Didalam cara mengenyam Belajar kuliah,” pungkasnya.
(faz/nah)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Di Madura hingga Hingga Jogja, Anak Nelayan Ini Raih Gelar Doktor Ke Usia 32 Tahun











