Jakarta –
Kenaikan Iuran Wajib pertambahan nilai (PPN) 12% tak hanya dikenakan Di Produk Internasional, melainkan sektor jasa termasuk Belajar. Padahal, sektor Belajar Sebelumnya Itu bebas Bersama pengenaan PPN.
Keputusan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% ini menuai sorotan Bersama berbagai pakar. Salah satunya Pakar Belajar dan Guru Besar Ekonomi Di Fakultas Ekonomika dan Usaha, Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof Dr R Agus Sartono, MBA.
Dia mengatakan bahwa pengenaan PPN 12% Di sektor Belajar hendaknya dibatalkan. Hal ini Lantaran pendekatan pengenaan PPN 12% yang dilakukan Pemerintah RI adalah Bersama ‘menyeleski’ sektor jasa Belajar ‘premium’.
Di Kontek Sini, Belajar yang Berpeluang terkena PPN 12% yaitu lembaga berlabel atau bertaraf internasional “Pengenaan PPN 12% Di Belajar bertaraf internasional sangatlah tidak tepat,” kata Prof Agus kepada detikEdu.
Guru Besar FEB UGM tersebut menilai, Pada ini pemerintah sendiri yang Mendorong agar Belajar RI Memperoleh Standar bertaraf internasional. Di sisi lain, kini ada berbagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) sudah Memperoleh International Undergraduate Inisiatif (IUP).
Menurutnya, Inisiatif internasional Di kampus telah menyumbang pembiayaan, minat student exchange, dan terjadinya Penjualan Barang Hingga Luar Negeri jasa Belajar.
“Lewat IUP, PTN BH mampu Memberi Dukungan Pemerintah silang Untuk anak-anak Bersama keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, Supaya mereka Memperoleh akses Belajar tinggi,” paparnya.
“Bersama sebab itu, Wacana pengenaan PPN 12% Di Belajar bertaraf internasional sangat tidak tepat dan sebaiknya dibatalkan,” tegasnya.
Aturan PPN 12% Perlu Dikaji Ulang
Sambil Itu, Pakar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Dr Imamuddin Yuliadi, SE, M Si, mengatakan, kenaikan PPN 12% perlu dilakukan pengkajian ulang.
Sebab, Kebugaran ekonomi Indonesia dinilai masih Memperoleh banyak pekerjaan Tempattinggal.
“Sebagai Pada Bersama Komunitas, Pada masih ada pilihan lain selain menaikkan Iuran Wajib, saya minta agar kenaikan Iuran Wajib ini dapat ditunda dan dikaji ulang,” ucapnya, sebagaimana dikutip Bersama laman resmi UMY, Sabtu (21/12/2024).
Prof Imamuddin menilai, dampak Aturan kenaikan PPN 12% per 1 Januari 2025 bisa menggerogoti roda ekonomi, termasuk menggerus daya beli Komunitas hingga Pelaku Ekonomi Kecil yang Akansegera Berjuang Bersama kenaikan biaya produksi.
Kenaikan PPN Akansegera Menambah Beban Biaya Komunitas
Senada Bersama Prof Imamuddin, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Arin Setyowati, juga menilai bahwa kenaikan PPN Bersama 11% menjadi 12% bisa menurunkan daya beli Komunitas terutama kelas bawah.
Menurutnya, Aturan tersebut Akansegera menambah beban biaya hidup Komunitas serta dapat memperburuk situasi ekonomi, terutama Untuk pekerja informal yang sangat bergantung Di daya beli lokal.
“Hal tersebut dapat memperburuk kesenjangan sosial jika tidak diimbangi Bersama Dukungan Pemerintah atau Pemberian langsung tunai,” ujar Arin Di laman UM Surabaya, yang dikutip Sabtu (21/12/2024).
Dia juga menggarisbawahi, kenaikan PPN jelas Akansegera menimbulkan beban Iuran Wajib yang lebih tinggi. Artinya, Kebugaran ini bisa merugikan sektor Pelaku Ekonomi Kecil dan bukan tak Bisa Jadi, efek terburuknya adalah adanya penutupan usaha.
(faz/pal)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Tepatkah PPN 12% Dikenakan Untuk Sektor Belajar? Begini Kata Pakar