Jakarta –
Pembantu Presiden Tim Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina Atef Abu Saif Mengadakan Literatur A Diary of Genocide. Mengisahkan detik-detik genosida Israel kepada Palestina Dari 7 Oktober 2023 Di 85 hari.
Literatur ini menceritakan Di sudut pandang orang pertama, Atef Abu Saif, mantan Pembantu Presiden Tim Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina yang juga seorang penulis. Di 7 Oktober 2024 lalu, Atef berada Ke Kharara, Didekat Khan Younis, Gaza Pada selatan. Di itu, Sabtu 7 Oktober 2024 pagi, seperti laiknya keluarga menyambut akhir pekan, semuanya terasa indah Ke pagi hari.
Atef berencana Berendam bersama keluarganya, saudara, anak dan iparnya. Di Berendam Ke pantai Di laut yang biru, tanpa peringatan roket dan ledakan terdengar Di segala arah. Ke Gaza, hal ini termasuk normal. Atef Di itu berpikir Mungkin Saja ini cuma manuver uji coba, satu-dua jam selesai.
Saking terbiasanya Di Kebugaran seperti ini, Atef dan orang-orang Gaza terbiasa Sebagai hidup hari ini saja.
“Aku belajar tidak membuat Wacana apa-apa, Malahan Sebagai esok hari. Kita hidup Sebagai hari ini, begitu kata ibuku,” tulis Atef Ke bukunya (halaman 20).
Akan Tetapi hari itu, eskalasi berlangsung cepat. Di keluar Di pantai, semua orang berlarian Ke segala arah. Atef Ke Kendaraan Pribadi, mengajak masuk keluarga Setelahnya Itu menyetir Di kesetanan. Setelahnya itu, hari Untuk hari survival dimulai.
“Saya berada Ke Gaza ketika pertama kali genosida ini dimulai. Sebab saya seorang penulis, Dari Sebab Itu saya melakukan apa yang saya bisa. Saya menulis setiap hari tentang apa yang terjadi kepada saya, keluarga, teman, kerabat, tetangga. Dari Sebab Itu ini cerita yang sangat personal buat saya. Cerita tentang kehidupan Ke Gaza yang sebenarnya, yang tidak kamu temukan Ke media seperti Al Jazeera, BBC, atau CNN,” tutur Atef Di berkunjung Ke detikcom beberapa waktu lalu.
“Sebab stasiun TV itu cenderungnya Mendokumentasikan soal kepentingan mereka. Tapi nggak ada yang peduli Di orang-orang biasa Ke Gaza, apa yang mereka pikirkan, bagaimana mereka berjuang, mencari Makanan, bertahan. Dari Sebab Itu Literatur ini menceritakan banyak kisah tak terceritakan tentang korban-korban genosida ini,” imbuh Atef.
Bertahan Hidup Di Hari Ke Hari Ke Bawah Serangan Rudal dan Bom
Di “A Diary of Genocide”, Atef menuliskan survival Di hari Ke hari. Di bangunan Ke sekitarnya dibom atau kena rudal. Setelahnya Itu mengecek ada keluarganya yang menjadi korban atau tidak. Lalu membantu mengevakuasi siapa saja yang masih bisa diselamatkan, siapa saja yang masih hidup atau yang sudah menjadi mayit. Setiap hari.
Capek fisik, lelah mental, sudah pasti. Akan Tetapi yang bisa dilakukan adalah bertahan, Berusaha Mengatasi hidup yang seperti menanti mati Di undian.
“Ketika tidur akhirnya menguasai, itu terasa semacam penyerahan diri: Kau mengakui; Kau Mengetahui bahwa kau tidak punya pilihan selain membiarkan kantuk Mendominasi, Memperoleh yang Mungkin Saja terjadi, Malahan jika itu berarti kematian,” tulis Atef (halaman 72).
Untuk orang-orang Ke Gaza, hari ini bisa melihat cahaya matahari, belum tentu esok hari. Mungkin Saja nyawa sudah melayang Ke haribaan-Nya.
“Konflik Bersenjata menggerogoti hidup kami. Hari-hari kami berangsur-angsur lenyap, bagai matahari Ke balik tirai awan gelap. Kami pikir kami Lagi menunggu Konflik Bersenjata berakhir, tapi sebenarnya yang kami tunggu adalah hidup kami berakhir,” tulis Atef (halaman 388).
Ke sisi lain, Atef menggambarkan kehidupan bertahan Ke Ditengah genosida sangat-sangat sederhana. Orang sudah tak peduli lagi Busana yang dikenakan, atau alas kaki yang Dari Sebab Itu pijakan.
“Tidak ada yang peduli baju apa yang dipakai, celana panjang atau pendek, sandal yang dikenakan Di Konflik Bersenjata. Tapi sekarang, tidak ada yang peduli atau Malahan memperhatikan hal ini, kehidupan Ke masa Konflik Bersenjata menjadi lebih sederhana,” tulis Atef (halaman 89).
“Ledakan adalah Pada Di kehidupan kami sekarang. Yang penting itu bukan rumahmu atau Tempattinggal Ke sebelahmu,” demikian Atef menggambarkan (halaman 91).
Terus menerus mendengar ledakan dan kabar-kabar kematian, lama-lama juga menjadi ba’al. Yang penting, masih bisa hidup dan bernafas.
“Kematian telah kehilangan kuasanya atas dirimu. Ia tidak lagi mengejutkanmu seperti dulu,” curhat Atef Di bukunya (halaman 94).
Kamu bisa mati setiap Di. Di tidur, Di makan, Di berlindung Ke Di gedung, Di Ke mana saja.
Selain kisah solidaritas warga Gaza, cerita bertahan hidupnya, mirisnya masih juga ada yang menjadi makhluk oportunis Ke Ditengah genosida ini. Para Orang Terlantar genosida Gaza masih saja menjadi sasaran pencari profit seperti penyewaan tenda.
“Tenda telah menjadi Usaha yang sangat menguntungkan. Banyak pengusaha menyewa sebidang tanah dan mendirikan tenda Ke atasnya, yang Setelahnya Itu mereka sewakan kepada para Orang Terlantar. Alih-alih menyewa flat atau Tempattinggal, kau menyewa tenda. Sudah merupakan kelaziman Sebagai melihat para pekerja sibuk mendirikan tenda Di kayu dan nilon serta mempersiapkannya Sebagai disewakan. Dan tenda-tenda itu kini menyebar Ke arah laut,” tulis Atef (halaman 390).
Atef Kehilangan 140-an Keluarga dan Teman
Di genosida ini, Atef mengaku kehilangan 140-an orang keluarga dan teman-temannya.
“Saya kehilangan 140 (orang) Di keluarga saya. Ayah saya, ibu mertua saya, keponakan saya 5 hari yang lalu dia terbunuh, dia berusia 8 tahun, dan itu adalah genosida. Dan Anda tidak tahu siapa yang Berencana hidup Sebagai besok,” kata Atef Di Ke detikcom.
Di genosida ini, imbuh Atef, satu per satu warga Gaza berubah menjadi angka. Akan Tetapi, Atef mengingatkan bahwa mereka bukan sekadar angka.
“Anda Berencana mengatakan 100 warga Palestina terbunuh tadi malam. Anda tahu Dari Sebab Itu ini bukan 100, itu 100 nyawa yang hilang. Saya juga percaya bahwa ini sama sekali bukan Konflik Bersenjata, ini adalah genosida yang terjadi Ke Palestina. Saya dan keluarga saya ada Ke sana melihat semuanya,” ujar Atef Di emosional.
Pelajaran Sangat Penting: Hidup Sangat Berharga dan Layak Diperjuangkan
Bayangkan, Di keluarga besarmu, yang berjumlah 140 orang itu, satu per satu menjadi kenangan. Hilang nyawa Di ledakan Untuk ledakan, tembakan Untuk tembakan. Tak ada upacara pemakaman yang pantas, tak ada kata ucapan selamat tinggal Ke embusan nafas terakhir.
Hari-harimu diisi Di ledakan bom Ke sana sini hingga membuatmu mati rasa. Syukur-syukur besok masih bisa lihat matahari bersinar, hari ini masih bernafas aja sudah syukur. Terus, bagaimana mencari Makanan dan air Sebagai bertahan setiap harinya? Tak usahlah bahas tentang Keadaan mental.
Hidup hanya Sebagai hari ini. Esok entah apa nyawa Berencana masih ada Ke raga. Satu pesan yang dikatakan Dari Saif: Hidup ternyata sangat berharga Sebagai dijalani.
“Berbicara tentang betapa menghancurkan betapa sulitnya hidup Ke Palestina, tetapi saya percaya Anda Memiliki lebih banyak pesan Di itu. Sebenarnya pesan utama Di Literatur ini adalah bahwa kita kita harus Mengetahui ya tentang apa yang terjadi dan Untuk saya sekarang ketika saya melihat kembali Ke 3 bulan saya hidup atau 85 hari saya tinggal Ke Gaza, saya pikir hidup sangat sangat berharga dan itu layak diperjuangkan,” pesan Atef Di berkunjung Ke detikcom.
“Persis Ke semua Literatur ini, setiap hari Anda menemukan Arena Sebagai hidup, mencari Makanan, mencari air. Sebagai anakku, aku membawa anakku bersamaku Di itu, kadang-kadang merawat ayahku, kau tahu orang tua itu, dia meninggal Setelahnya Itu. Dari Sebab Itu pesan utama Di Literatur ini adalah bahwa hidup itu layak dijalani ya dan layak diperjuangkan dan bahwa kita tidak boleh menyerah Sebab kau tahu Di hari kedua-ketiga ketika aku melihat kematian Ke mana-mana dan kota itu runtuh,” tuturnya Di emosional.
Ke hari Ke-85, Atef bersama putranya Yasser, akhirnya berhasil keluar Di Gaza Melewati perbatasan Rafah Ke Sinai Utara Mesir.
“Anehnya, kenangan tentang Konflik Bersenjata itu positif. Sebab Sebagai memilikinya, berarti kau bertahan hidup,” tulis Atef (halaman 26).
“Di Konflik Bersenjata berlanjut, aku hanya bisa memikirkan cara bertahan hidup. Aku tidak bisa berduka. Aku tidak bisa memulihkan diri. Rasa sakitku harus ditangguhkan. Kesedihanku ditunda. Sekarang bukan waktu yang tepat memikirkan semua ini. Akan Tetapi Di Literatur ini, aku dapat melihat semua orang yang kucintai, yang telah hilang dariku dan dapat terus berbicara Di mereka. Di Literatur ini, aku bisa meloloskan diri Di keyakinan bahwa mereka masih ada bersamaku,” tutup Atef Di bukunya.
Segera Setelahnya lolos Di genosida ini, Atef menerbitkan Literatur hariannya dan dialihbahasakan Ke beberapa bahasa Ke dunia. Mengabarkan kepada dunia bagaimana korban genosida Ke Gaza harus Melewati hari-harinya. Di bahasa Indonesia, Literatur ini diterbitkan Noura Publishing Di cetakan pertama Maret 2024.
Literatur ini terdiri Di 400-an halaman. Dibagi babnya persis seperti menulis diari Di bahasa yang menggugah hati, setiap bab seperti terasa esok hari Berencana mati. Di hari pertama Ke 7 Oktober 2024 hingga 85 hari setelahnya, 30 Desember 2023. Ke akhir Literatur, terdapat foto-foto dokumentasi Atef seperti Press House tempat para jurnalis Ke Gaza berkumpul, sekolah tempat pengungsian, tenda pengungsian hingga komunikasi yang kembali Ke era radio.
Saran penulis, bacalah Literatur ini Di keadaan mental baik-baik saja. Membaca Di sudut pandang orang pertama, Merasakan bahwa satu per satu keluarga dan temanmu akhirnya menjadi kenangan itu sangatlah menyesakkan. Akan Tetapi Ke sisi lain, kebijaksanaan bertebaran Ke Literatur ini, membuat kita lebih merenungi, mensyukuri dan Mengetahui bahwa hidup teramat berharga dan perlu diperjuangkan.
*) Nograhany Widhi K, pegiat BookClub detikcom.
(nwk/nwy)
Artikel ini disadur –> Detiknews.id Indonesia: Satu Per Satu Teman-Kerabat Ke Palestina Dari Sebab Itu Memori